Telah masyhur bahwa pemahaman demokrasi berasal dari masyarakat Yunani Kuno. Athena, sebagai pusat pemerintahan masyarakat Yunani Kuno, telah membumikan pemahaman demokrasi pada masyarakatnya. Masyarakat telah dilibatkan langsung dalam menentukan pemerintahnya melalui penggunaan hak dipilih dan memilih. Meskipun hak politik ini masih tidak diberlakukan kepada kaum wanita, budak, atau yang berstatus warga asing. Athena menjadi benih masyarakat yang liberal (yang memiliki kebebasan) bagi rakyatnya untuk menentukan sendiri pemerintahannya. Inilah yang diistilahkan dewasa ini dengan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang warganya memiliki kebebasan untuk menentukan masa depan kehidupan bangsanya.
Dalam perkembangannya, pemahaman demokrasi diusung oleh beberapa tokoh pemikir dan filosof. John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government (1690) menyatakan bahwa pemerintah bertugas menjamin hak-hak dasar rakyat, yaitu hak untuk hidup, hak memiliki, hak berbicara, beragama dan hak kebebasan membuat opini. Jika pemerintah tak mampu menjaga hak-hak tersebut, rakyat memiliki hak melakukan revolusi. Di Perancis, sejak tahun 1700-an, tiga filosof terkenal, yaitu Montesquieu, Rousseau, dan Voltaire juga melontarkan ide-ide kebebasan. Dalam buku The Spirit of the Laws (1748), Montesquieu membagi kekuasaan negara menjadi tiga, atau yang dikenal dengan Trias Politika. Yaitu kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Adapun Rousseau dalam buku The Social Contract (1762) mengungkapkan bahwa pemerintahan merupakan cermin dari kepercayaan rakyatnya. Sedangkan Voltaire memberikan kecaman terhadap pemerintah yang mengekang kebebasan rakyatnya. Dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran tiga filosof tersebut, rakyat Perancis melakukan gerakan revolusi. Tahun 1789, Revolusi Perancis meletus dengan mengusung jargon: liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality (persamaan). Tiga prinsip ini dijadikan kalangan Yahudi sebagai prinsip Freemasonry, organisasi bawah tanah Yahudi yang mengendalikan lobi Yahudi di Amerika Serikat. (A New Encyclopedia of Freemasonry, New York, Wing Books, 1996 – Syamsuddin Ramadhan, http://www.syariahpublications.com)
Setelah usai Perang Dunia I, ide demokrasi laris dianut berbagai negara termasuk Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang telah mengenyam pendidikan barat, melansir ide-ide demokrasi tersebut. Ide-ide tersebut dibungkus dengan bahasa nasionalisme.
Pemahaman demokrasi mulai menggeliat hebat setelah Perang Dunia II. Negara-negara jajahan banyak yang mendapatkan kemerdekaan, maka model bentuk negara banyak yang merujuk ke pemikiran para filosof yang mengusung ide-ide demokrasi. Kemudian pemahaman demokrasi ini tak terbatas pada ranah (bidang) politik, tapi merambah ke berbagai bidang lainnya. Demokrasi, yang salah satu prinsipnya adalah liberty (kebebasan), lantas merambah pada bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kewanitaan. Maka, berkembanglah tuntutan untuk memberikan kebebasan kepada kaum wanita dalam menentukan hak politiknya. Tak mengherankan bila kemudian wanita beramai-ramai naik ke panggung politik. Tak lagi terikat aturan agama, karena mereka memiliki kebebasan yang diatur undang-undang. Dengan bahasa lain, kebebasan yang dilegalkan atas nama negara.
Dalam ranah agama di Indonesia, gagasan-gagasan liberalisasi (yang merupakan salah satu sendi demokrasi) diusung secara terbuka oleh Nurcholis Madjid pada periode tahun 1970-an. Yang sebelumnya, bibit-bibit gagasan tersebut disemai oleh Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Bisa pula dimasukkan nama lain, yaitu Harun Nasution. Disusul kemudian Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo, Komarudin Hidayat, Ulil Abshar, dan sebagainya. Tendensi mereka secara nyata menarik gagasan-gagasan demokratisasi diterapkan di Indonesia, di semua wilayah publik dan semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam bidang agama.
Saat terjadi polemik tentang Ahmadiyah, maka wajah-wajah para pembela dan penjaja liberalisme secara nyata muncul ke permukaan. Kini, dalam ranah politik, partai-partai politik dari kalangan berbasis massa Islam, sadar atau tidak telah pula mengusung gagasan liberalisme. Meskipun dalam bahasa mereka digunakan slogan “demokratisasi”. Namun, inti ajarannya tetap sama. Demokratisasi adalah liberalisasi. Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com