Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan
manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi
kebutuhannya. Bahkan, tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah,
sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rezeki baginya.
Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan
begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ[
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rezeki” (QS ar-Ruum [30]: 40).
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
“Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, selain Allah yang memberi rezekinya” (QS Hud [11]: 6).
Jika demikian halnya, mengapa terjadi
kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi
kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah?
Dalam pandangan ekonomi kapitalis,
problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa,
sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya,
sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah
kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, batil, dan bertentangan dengan
fakta.
Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam
yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun
demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu
akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama
penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah
pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan
negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang sahih.
Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan.
Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan
masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun
struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi
memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam
menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan
pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan,
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer
manusia terdiri atas pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya
ketiga kebutuhan tersebut, selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya
seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap
individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam
memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer
bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan
makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat, sehingga
terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah
dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer
dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang
dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan
membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Allah Swt. berfirman:
]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
“Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Salah seorang di antara kalian pergi
pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik
dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian
manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang
mungkin memberinya atau menolaknya”.
Ayat dan hadis di atas menunjukan adanya
kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami,
syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan
istrinya. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS al-Baqarah [2]: 233).
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (QS ath-Thalaq [65]: 6).
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang
mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri
dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap
wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam
mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua
laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang
ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut,
dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu
bekerja. Jika demikian keadaannya, lalu siapa yang akan menanggung
kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan
kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu
mereka. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ
تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
“Kewajiban ayah memberikan makan dan
pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak
dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya.
Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban
sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud
waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi,
melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi
tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka
kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk
membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan
kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf
kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak
diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat
kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib
baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas
orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah
orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer
(al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah),
menurut standar masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah).
“Tangan di atas (memberi) itu lebih baik
dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan”
(HR Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya
keperluan) di sini adalah harta ketika manusia (dengan keadaan yang
dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level
pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) dan kebutuhan
pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat
sekitarnya.
Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu
tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, tetapi
hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah
beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui
Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka
harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan
‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami” (HR Imam Muslim).
Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
Anggaran yang digunakan negara untuk
membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas
zakat. Allah Swt. berfirman:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[
“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (QS at-Taubah [9]: 60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada
harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum
muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi
orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian” (QS
adz-Dzariyat [51]: 19).
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu
daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka
perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Imam
Ahmad).
“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja
yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia
mengetahuinya” (HR al-Bazzar).
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu
orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak)
kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang
miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak
diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam
mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang
bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila
tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib
membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai
kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat.
Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya.
Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim.
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum muslim secara
individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah
(pajak) dari orang-orang kaya hingga mencukupi.
Pengaturan Kepemilikan
Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan
yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya.
Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa
sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan
kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi
dengan sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang dimaksud
mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan
kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan,
dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
Jenis-jenis Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan
sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu
zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu
kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
•Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu
Allah Swt. telah memberi hak kepada
individu untuk memiliki harta, baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang
dibolehkan, misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan
lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini,
menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna
mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah manusia memang memiliki
keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha
agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk
tidak hidup miskin.
Kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu
Aset yang tergolong kepemilikan umum ini,
tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh
sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala
sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan
persengkataan jika ia lenyap, misalnya padang rumput, air, pembangkit
listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak
bisa dimanfaatkan hanya oleh individu, misalnya sungai, danau, laut,
jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat
besar, misalnya emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini
dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada
masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan
lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas
menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama.
Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain
tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang tejadi dalam sistem
kapitalis. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan
diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
Kepemilikan negara adalah setiap harta
yang menjadi hak kaum muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada
khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai kepala negara
Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini
di antaranya adalah fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat
negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan negara dalam Islam,
jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset
yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas
dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya
adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam
mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan
penginfaqkan harta (infaqul mal).
Baik dalam pengembangan harta maupun
penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam,
misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara
ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau
misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan)
hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain.
Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan
menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan
kemiskinan bisa diatasi.
Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di
tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab
terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi
kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.
Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang
berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum
hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi
kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan
sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan,
jelas sekali secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada
terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam
hukum waris. Secara terperinci syariat mengatur kepada siapa harta
warisan harus dibagikan. Jadi, seseorang tidak bisa dengan bebas
mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa
berpotensi pada distribusi yang tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban
secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat
yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada
soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak
menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia
berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian
yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua
itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi
kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan
sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah
kemiskinan.
Penyediaan Lapangan Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasululah saw.:
“Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan
penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya
(rakyatnya)” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa
Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian
Beliau saw. bersabda:
“Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja”
Demikianlah, ketika syariat Islam
mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya,
maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan
pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif sehingga
kemiskinan dapat teratasi.
Penyediaan Layanan Pendidikan
Masalah kemiskinan sering muncul akibat
rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian
maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural.
Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh
negara. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam mengarah pada
dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang
kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara
untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat.
Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu
rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif,
inovatif, dan produktif. Dengan demikian, kemiskinan kultural akan
dapat teratasi.
Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam
mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah
sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan
panjang sejarah kaum muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut
benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah
naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu
Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata
kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu
memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi,“Berilah
mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka
memiliki seratus unta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan
kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan
memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus
berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup
ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua
masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul
Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat
kepada gubernur tersebut,“Telitilah, barang siapa berutang, tidak
berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian,
gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau,“Sesungguhnya aku telah
melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga
tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang
harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz
mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah,
sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas
kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah
melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa.
Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya,
“Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk
menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.”
Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya
untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi
kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian
orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak
yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini,
tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang
nonmuslim. Dalam hal ini, orang-orang nonmuslim yang menjadi warga
negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang muslim,
tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis
oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama
Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia
yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya
kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut
agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban
membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi
tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum muslim.” Peristiwa ini
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
Umar bin Khatab r.a. pernah menjumpai
seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya,
ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat
demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan
memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti
dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat
memperbaiki keadaannya. Umar berkata, “Kita telah bertindak tidak adil
terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda,
kemudian menelantarkannya kala dia sudah lanjut usia.
Demikianlah beberapa gambaran sejarah
kaum muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika
itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya
bagi umat muslim tapi juga bagi umat nonmuslim yang hidup di bawah
naungan Islam.
Khatimah
Islam bukanlah agama ritual semata,
melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang sahih, tentu
Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problem
manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pembahasan ini, tampak
bagaimana keandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila
saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat
Islam, hal itu disebabkan mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup
selain Islamlah (Kapitalisme, Sosialisme/Komunisme) yang mereka terapkan
saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup
dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
“Barang siapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thahaa [20]:
124).
Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa syariat Islam?
About these ads