Astrid S. Susanto (dalam Marbun, 1980 : 70-72), menyatakan dalam
kehidupan organisasi di Indonesia, instansi masih dilihat sebagai
lanjutan kehidupan solidaritas organisasinya, sehingga terbentuklah
suasana organisasi (organization climate) dan budaya organisasi (organization
culture) khas Indonesia yang sedikit banyak masih ditandai oleh sifat
budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan
musyawarah. Hal ini bisa dilihat pada suasana santai, akrab dan suasana
seperti di rumah, yang dibawa ke tempat kerja. Kebiasaan ngobrol
(istilah jaman sekarangnya disebut ngerumpi) dan bekerja yang santai
waktu jam kerja menunjukkan adanya nilai keakraban sosial yang masih
dianggap lebih penting daripada sikap lugas (zakelijk) waktu kerja. Bila
memungkinkan, semua suka-duka (terutama duka) kehidupan pribadi
diharapkan akan dapat dipecahkan oleh atasan.
Namun demikian, menurut
Danandjaja (1986 : 85) gambaran seperti itu tidak lagi merupakan
gambaran yang lengkap. Wong cilik termasuk karyawan pada level bawah,
sudah mulai merasuk dalam tata nilai manusia Indonesia. Dampaknya tidak
hanya para profesional dan manajer muda yang tumbuh pragmatis dan
akusentris, akan tetapi telah tumbuh pula “manajer yang autokratik dan
berpikir jangka pendek”.
Danandjaja dalam penelitiannya menemukan
bahwa manajer Indonesia lebih mementingkan keuntungan jangka pendek;
walaupun mengerti manfaatnya, tidak menganggap realistik investasi
jangka panjang; meskipun berakibat di bebas tugaskannya sekelompok
karyawan, cenderung menjual saja salah satu pabrik lama, demi pengadaan
dana untuk membangun pabrik bari; membatasi penyediaan dana untuk
program latihan hanya pada mereka yang memang masih dapat dikembangkan
lebih lanjut; dan hanya mau mengeluarkan dana terbatas, nila perlu
sekecil mungkin untuk fasilitas di tempat kerja seperti kafetaria dan
kamar kecil. Manajer seperti tersebut di atas, kata Danandjaja (1986 :
104) lebih suka pada suasana yang menyenangkan, lebih suka orang yang
sangat populer tapi kurang kreatif daripada yang kreatif tetapi kurang
populer, tidak suka konflik walaupun itu berarti kemajuan, dan lebih
memberikan wewenang pada anak buah yang hanya terbatas pada pelaksanaan
tugas.
Hal hampir senada dikemukakan pula oleh Budi Paramita (1992 : 10) yang mengatakan gaya manajerial
di Indonesia bersifat antara lain, paternalistik dan otokritik. Suatu
jenis pengendalian yang bersifat langsung dan pribadi dengan wewenang
dipusatkan pada pucuk pimpinan. Ini sesuai dengan dalih yang muncul dari
gambaran di atas, yang menunjukkan bahwa suatu pengendalian hierarkis
yang ketat dalam suatu organisasi merupakan cara paling efektif dalam
masyarakat yang bersifat otoriter.
Berikut ini adalah Profil Manajer Indonesia menurut hasil temuan Danandjaja (1986:150) :
1.
Bagi para Manajer, perusahaan adalah wujud lain dari pemilik, yang
patut dihormati dan dituruti segala kehendaknya dengan taat. Ucapan
“terserah bagaimana maunya perusahaan”! sangat mudah diucapkan oleh
Manajer di Indonesia, terutama kalau sedang frustasi. Karena tidak ada
ikatan lain kecuali sebagai wadah tempat ia memperoleh kesempatan kerja,
jaminan dan keamanan, maka para Manajer tersebut akan cenderung untuk
keluar dari perusahaannya begitu saja kalau hal-hal tersebut tidak
dipenuhi.
2. Bagi para Manajer, pemilik
adalah orang yang sampai batas tertentu dapat memberikan kesempatan
memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sesuai dengan orientasi vertikalnya,
para Manajer akan menghormati pemilik, dan malah sering menganggapnya
sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya.
Profil
Manajer seperti tersebut di atas, sejalan dengan temuan Astrid S.
Susanto (dalam Marbun, 1980 :73-74) bahwa pegawai, dalam hal ini Manajer
profesional mengharapkan adanya solidaritas organik di dalam
perusahaannya yang diidentikkan dengan pemilik. Harapan tersebut
sedemikian besarnya sehingga ia akan merasa sangat kecewa dan sering
merasa sakit hati bila apa yang diharapkan dari pemilik tidak terpenuhi.
Sejauh pemilik perusahaan dapat memuaskan kebutuhankebutuhannya, ia
akan bekerja dengan setia. Akan tetapi bila kepuasan itu tidak lagi
dapat dicapai, maka ia akan pergi. Hal ini sering tidak dapat dimengerti
oleh pemilik, yang kebanyakan masih menganggap bahwa bawahannya yang
diberi pekerjaan dan upah itu, dianggap bahwa bawahannya yang diberi
pekerjaan dan upah itu, harus tahu diri dan tidak menghianatinya
(Danandjaja,1986 : 151).
Danandjaja juga mengemukakan bahwa kecuali
jika rekan kerja Manajer adalah sahabat karib yang mempunyai hubungan
lebih daripada sekedar rekan kerja biasa, tidak ada piiran dibenaknya
bahwa sesama rekan kerja adalah orang-orang yang berbagi nasib dan hari
depan, yang ikut menentukan dan menanggung hidup perusahaan dan
kebahagiaan hidup semuanya.
Dikatakannya bahwa hal tersebut pertanda
bahwa nilai-nilai seperti gotongroyong dan sebagainya tidak lagi diikuti
: sistem nilai yang berperan pada para Manajer lebih menunjukkan
individualisme dan konsentrasi pada keberhasilan pribadi. Hal tersebut
tampaknya benar. Namun masih benar juga bahwa para Manajer merasa sangat
kecewa, malah sakit hati, jika apa yang dilihatnya sebagai kewajiban
dan tanggung jawab moral atasan/pemilik untuk memelihara anak buah dan
menjamin keberhasilannya tidak terwujud, dan bahwa atasan/pemilik merasa
dikhianati jika bawahan keluar dari perusahaan. Perasaan-perasaan
demikian justru menunjukkan bahwa orang secara emosional masih terikat
pada hal tersebut, dan oleh karena itu masih tetap menginginkan
terwujudnya solidaritas organik.
Charles hendy (dalam Budi Paramita,
1992 : 11) mengemukakan adanya 4 macam budaya organisasi, yakni budaya
organisasi berdasarkan kekuasaan, peran, tugas dan orang. Gambaran
singkat masing-masing jenis budaya organisasi tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Budaya Berdasarkan Kekuasaan
Budaya
yang seperti ini paling banyak terdapat di Indonesia. Strukturnya bisa
digambarkan seperti jaring laba-labanya berada di pusat. Pusat kekuasaan
tidak harus selalu merupakan seseorang individu sebagai penguasa
tunggal, melainkan dapat juga terdiri dari sekelompok kecil manusia yang
memegang kekuasaan organisasi. Pada umumnya organisasi seperti ini
merupakan suatu organisasi politis, mengingat keputusan organisasi lebih
merupakan hasil imbangan kekuatan yang ada daripada atas dasar prosedur
atau tindakan yang wajar dan masuk akal. Kekuatan organisasi semacam
ini terletak pada kecepatan pada tindakan dan lebih tanggap dalam
menghadapi ancaman dan perubahanperubahan.
Bagi karyawan yang
berorientasi politis, senang berkuasa, suka mengambil atau mencari
resiko dan kurang mementingkan keamanan, organisasi semacam ini
merupakan lingkungan kerja yang paling menawan hati. Pengendalian
kekuatan dan arah kegiatan dilakukan atas dasar pengendalian dana dan
sumber dana.
2. Budaya Atas Dasar Peran
Budaya
peran sebetulnya adalah budaya birokrasi. Menurut Weber (dalam Gerth
dan Wright, 1958 : Bab 8), organisasi yang berdasarkan birokrasi yang
benar umumnya lebih sempurna dibandingkan organisasi bentuk lain,
dikarenakan memiliki ketepatan da kecepatan bertindak serta mengurangi
biaya bahan maupun biaya pegawai. Sebagian dari penalarannya mengenai
efektivitas birokrasi adalah disiplin yang superior dan adanya
pengendalian atas tingkat peran. Semua pekerjaan dilakukan secara
teratur, sistematis dan rutin.
Organisasi peran sangat efisien dan
efektif dalam lingkungan yang stabil, atau bilamana lingkungannya dapat
dikendalikan dengan jalan monopoli misalnya. Organisasi jenis ini
khususnya berguna bagi organisasi yang lebih memerlukan skala ekonomi
besar dibandingkan fleksibilitas, atau dalam hal keahlian teknis dan
spesialisasi yang mendalam lebih penting daripada pengembangan dan biaya
produksi. Kelemahannya adalah kurangnya kepakaan terhadap perubahan
lingkungan dan lambatnya melakukan penyesuaian yang diperlukan. Bagi
karyawan yang menyukai kepastian, dan jaminan hidup bekerja dalam
organisasi, peran memberikan ketenangan besar. Sebaliknya bagi mereka
yang ingin mengendalikan pekerjaannya sendiri atau menginginkan
kekuasaan, organisasi semacam ini sangat mengecewakan baginya.
3. Budaya Atas Dasar Tugas
Budaya
ini berusaha mengumpulkan sumber daya manusia yang tepat untuk dapat
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya sebab orientasinya terhadap
penyelesaian pekerjaan/tugas. Organisasinya dapat digambarkan sebagai
suatu matriks antar fungsi atau keahlian dengan pekerjaan. Pengaruhnya
bersumber pada kekuatan keahlian dan bukan pada kedudukan atau atas
dasar kekuatan pribadi seseorang. Budaya atas dasar tugas ini merupakan
budaya tim atau budaya gotong-royong dikarenakan demi keberhasilan tugas
harus dapat mengatasi konflik yang dapat timbul disebabkan perbedaan
kepentingan pribadi, perbedaan status dan cara kerja.
Ada keunggulan
positif budaya ini, yaitu peka atau lentur terhadap perubahan
lingkungan, dan sangat berguna bilamana organisasi menghadapi pasar yang
sangat bersaing, terutama jika produk yang dihasilkan bersiklus pendek.
Namun ada juga segi negatifnya, yaitu pengendaliannya agak sukar dan
mudah bergeser menjadi budaya peran atau kuasa. Pengendalian hanya dapat
dilakukan oleh pucuk Pimpinan dengan jalan memberi atau tidak memberi
tugas/pekerjaan, tambahan dana atau sumber daya manusia.
4. Budaya Berdasar Orangnya
Mengingat
organisasi diciptakan biasanya hanya untuk melayani anggotanya, seperti
kelompok sosial, pagayuban, dan juga organisasi informal, maka budaya
jenis ini didasarkan atas pribadi-pribadi dan umumnya jarang digunakan
untuk tujuan ekonomis. Organisasinya praktis, tidak berstruktur dan
seolah merupakan sekumpulan manusia saja yang hanya mempunyai tujuan
bersama, serta kurang mementingkan tujuan masing-masing. Jenjang
kewenangan dan alat pengendalian sukar tumbuh dalam budaya seperti ini,
kecuali saling mufakat sebelumnya. Unsur pemersatu yang diperankan oleh
seseorang dalam kedudukan lebih tinggi tidaklah ada, kalaupun ada
sesuatu kekuasaan, itu hanya bersumber pada pengaruh kepribadian
seseorang. Umumnya budaya organisasi seperti ini tidak bersifat
langgeng.
Dari paparan tersebut, kelihatannya Charles handy
menekankan bahwa pencapaian tugas menurut sifatnya harus didukung oleh
kebudayaan yang serasi, dan ini berarti harus sesuai dengan budaya
masyarakatnya.
Pendapat ini sama dengan Peter F. Drucker (1977 : 7),
yang mengatakan manajemen menyandang fungsi sosial. Manajemen tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat atau bagian dari masyarakat yang
dilayaninya, sehingga tak terlepas dari kaitan budaya yang disandang
oleh masyarakat yang dilayaninya. Budaya itu bahkan tampil sebagai
terpadu dalam keseluruhan manajemen tersebut. Demikian juga tampaknya
senada dengan pendapat Astrid S. Susanto yang menyatakan bawha meskipun
diakui bahwa unsur-unsur manajemen bersifat universal secara umum, namun
dalam prakteknya saat mengimplementasikan dalam suatu aktivitas, mau
tidak mau perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi oleh budaya
yang dianut oleh anggota yang ada di dalamnya. Terlebih lagi dengan
bangsa Indonesia yang begitu banyak memiliki suku dengan budanya
masing-masing, hingga melahirkan apa yang dikenal dengan Bhineka Tunggal
Ika, yang secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi organisasi
dan manajemen yang ada. (Astrid S. Susanto dalam Marbun, 1980 : 70-71).
Dicopas Dari : MANAJEMEN INDONESIA: PERPADUAN MANAJEMEN BARAT DAN TIMUR SERTA BUDAYA TRADISIONAL
ENDANG SULISTYA RINI, SE. M.Si
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sumatera Utara