Sepanjang sejarah peradaban manusia, buku yang paling banyak dibaca, sekaligus dipelajari, ditelaah dan direnungkan, tak pelak lagi, adalah al-Qur'an. Dari mata air hikmahnya, mengalirlah butiran dan tetesan ilmu. Bukan hanya ilmu keagamaan namun juga ilmu kealaman dan ilmu kemasyarakatan. Karena itu, apabila kita membuka lembaran sejarah ilmu Islam, kita menemukan ratusan, bahkan ribuan, ilmuwan Muslim. Di dalam sejarah Islam, pada Masa Klasik kebanyakan ilmuwan Muslim tidak hanya menekuni satu bidang ilmu, karena pada masa itu tidak dibedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena itu, kita seringkali mendapati seorang ulama (ahli ilmu agama) sekaligus juga filosof atau ilmuwan, seperti Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Rusyd, dan lain-lain.
Bukan suatu keanehan bila sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan kode-kode tertentu, struktur bilangan tertentu. Alam sendiri mcngajarkan kepada manusia tentang adanya periode-periode tertentu yang selalu berulang, terstruktur dan sistematis, misalnya, orbit Bulan, Bumi dan planet-planet, lintasan meteorit dan bintang-bintang, DNA, kromosom, sifat atom, lapisan bumi dan atmosfer, dan elemen kimia dengan segala karakteristiknya. Allah SWT berfirman "Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". (Firman Allah dalam surat az-Zumar ayat : 9).
Kitab Mulia al-Qur'an mengajarkan pembacanya bahwa "Tuhan menciptakan sesuatu dengan hitungan teliti' sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Jin ayat 9 “Supaya dia mengetahui, bahwa Sesungguhnya rasul-rasul itu Telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu”
Dalam pandangan al-Qur'an, tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Semua terjadi dengan "hitungan", baik dengan hukum-hukum alam yang telah dikenal manusia maupun yang belum. Bagi Muslim yang beriman, tidak ada bedanya apakah al-Qur'an diciptakan dengan "hitungan" atau tidak, mereka tetap percaya bahwa kitab yang mulia ini berasal dari Tuhan Yang Esa. Pencipta alam semesta, yang mendidik dan memelihara manusia. Namun bagi sebagian ilmuwan, terutama yang Muslim, yang percaya bahwa adanya kodetifikasi alam semesta, baik kitab suci, manusia maupun objek di langit, adalah suatu "kepuasan tersendiri" jika dapat menemukan hubungan-hubungan tersebut. Al-Qur'an adalah salah satu mahakarya yang diturunkan dari langit, untuk pedoman umat manusia, berlaku hingga alam semesta runtuh. Ia menggambarkan masa lalu, sekarang dan masa depan dengan cara yang menakjubkan.
Walaupun begitu, tidak semua orang dapat memperoleh hikmah. Bagaimana pembaca bisa memahami keindahan al-Qur'an tanpa mengetahui ilmunya? Contoh yang paling sederhana adalah ayat 68-69 Surat an-Nahl, yang menceritakan aktivitas lebah "mendirikan sarang dan mencari makan".
Ayat tersebut menggunakan bentuk kata kerja femina, karena memang yang mencari makan dan membuat sarang adalah lebah betina. Lebah jantan diberi makan oleh lebah betina, bukan sebaliknya.3 Jangankan masyarakat di abad ke-7, masyarakat di abad ke-21 pun tidak tahu bagaimana cara membedakan lebah jantan dan lebah betina. Terlebih, memahami bahwa lebah betinalah yang mencari makan, bukan sebaliknya. Jika Surat an-Nahl merefleksikan lebah betina dengan bentuk kata kerja femina. Lebah jantan digambarkan oleh al-Qur'an pada nomor suratnya, yaitu bilangan 16. Bilangan 16 ini adalah banyaknya kromosom lebah jantan, sedangkan jumlah kromosom lebah betina diketahui berjumlah 32.
Setiap ayat, bahkan jumlah ayat atau kata, dan nama surat merupakan kebijakan abadi. Ia mempunyai beberapa lapisan pengertian, sesuai dengan tingkat ilmu pengetahuan manusia yang membacanya. Jumlah penyebutan kata-kata tertentu dalam al-Qur'an mempunyai, makna yang sangat dalam, dan baru dapat diketahui oleh pembaca jika ia mempunyai pengetahuan dan sains yang cukup luas.