Adab Sopan Santun bagi Penuntut Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم

Adab Sopan Santun bagi Penuntut Ilmu [5]

Siapa yang tak pernah salah…?
MAAFKAN BILA DIA TAK SEMPURNA
Menghormati Ulama' tanpa Mengkultuskan, dan Mengikutinya tanpa Taqlid Buta
Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan menghargai mereka, serta berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi diantara ulama' dan selain mereka. Para penuntut ilmu hendaknya menerima hal tersebut dengan memberikan udzur kepada orang yang keliru dalam menempuh satu jalan menurut keyakinannya. Ini merupakan poin yang sangat penting, karena sebagian orang, ada yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, untuk dijadikan sebagai -celaan- sesuatu yang hakekatnya tidak layak disandarkan bagi mereka, lalu membuat kekacauan dengan merusak reputasi mereka di tengah-tengah manusia. Ini merupakan kesalahan besar, apabila ghibah terhadap orang awam dari kalangan manusia biasa, termasuk dosa besar, maka sesungguhnya ghibah terhadap orang alim merupakan dosa besar yang sangat besar, karena ghibah terhadap orang alim, dampak negatifnya tidak hanya terbatas menimpa pribadi orang alim itu saja akan tetapi mudhorotnya menimpa yang bersangkutan serta ilmu syar'i yang dipikulnya.[1]

Berkata Amirul Mu'minin Ali bin Abi Tholib Radhiallohu 'anhu :
(من حقّ العالم عليك إذا أتيته أن تسلِّم عليه خاصَّة، وعلى القوم عامّة، وتجلس قُدَّامه، ولا تشِر بيديك، ولا تغمِز بعينَيك، ولا تقُل: قال فلان خلافَ قولك، ولا تأخذ بثوبِه، ولا تُلحَّ عليه في السؤال، فإنّه بمنزلة النخلة المُرطبة التي لا يزال يسقط عليك منها شيء)
diantara Hak seorang Alim yang wajib engkau tunaikan adalah apabila engkau mendatanginya hendaknya mengucapkan salam kepadanya secara khusus, kemudian kepada orang-orang secara umum, duduklah dihadapannya, jangan menunjuk memberi isyarat dengan kedua tanganmu, jangan pula memberi isyarat dengan kedua matamu, jangan pernah mengatakan : Si Fulan mengatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapatmu; jangan pegang bajunya, jangan pula mendesaknya dalam mengajukan pertanyaan; karena sesungguhnya dia memiliki kedudukan sama seperti pohon kurma yang buahnya sudah matang, yang terus menerus jatuh darinya sesuatu untukmu.[2]

Lapang Dada dalam Masalah-Masalah Khilaf
Hendaknya seorang penuntut ilmu lapang dada dalam medan perbedaan pendapat yang bersumber dari sebuah ijtihad, karena masalah-masalah khilaf yang terjadi diantara para ulama', adakalanya terjadi dari perkara-perkara yang sebenarnya tidak ada ruang bagi ijtihad di dalam masalah tersebut, dan juga adakalanya terjadi dari perkara-perkara yang memang ada ruang untuk ijtihad di dalam masalah tersebut, maka untuk yang seperti ini, orang yang berbeda pendapat dalam masalah tersebut masih diberikan udzur -toleransi-.[3]

Beradab terhadap Guru
-Telah kita ketahui bersama- bahwa ilmu itu tidaklah diambil pertama kali dari buku, akan tetapi harus dari bimbingan seorang guru, yang anda peroleh dengan sempurna darinya kunci-kunci dalam menuntut ilmu, agar anda aman dari ketergelinciran, oleh karena itu wajib bagi anda untuk ber-adab ketika bersamanya, karena hal tersebut merupakan alamat kemenangan dan kelulusan serta alamat keberhasilan dan Kesuksesan. Maka hendaknya guru-mu menjadi tempat curahan penghormatan darimu, pemuliaan, penghargaan dan kelemahlembutan, ambillah dan terapkan seluruh adab sopan santun bersama guru; ketika engkau duduk bersamanya, ketika berbicara kepadanya, ketika mengajukan pertanyaan yang baik dan bermanfaat, ketika duduk mendengar, perbaikilah adab dalam membuka lembaran-lembaran buku ketika berada dihadapannya, jauhi sikap congkak dan suka berdebat dihadapannya, -dan hendaknya- tidak mendahuluinya ketika berbicara atau ketika berjalan, -dan hendaknya tidak- banyak bicara disisinya, atau turut nimbrung dalam obrolannya atau di dalam pelajarannya dengan komentar darimu, -dan hendaknya tidak- terus mendesaknya untuk memberikan suatu jawaban. Jauhi banyak bertanya terlebih jika dihadapan orang banyak, karena hal seperti itu akan membuatmu menjadi sosok yang bangga -tertipu- dengan diri sendiri dan membuat guru-mu menjadi jenuh. Hendaknya engkau tidak memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, atau bersama dengan gelarnya, akan tetapi panggillah dengan mengatakan : wahai guru-ku, atau wahai guru kami.

Apabila nampak padamu kekeliruan dari seorang guru, atau suatu kesalahan, maka jangan dengan adanya hal tersebut gurumu jatuh dari matamu, karena itu bisa menjadi sebab, anda akan terhalangi dari mendapatkan ilmu yang ada padanya. Siapa disana orang yang terlepas dan selamat dari kesalahan..!?!?!?[4]

Mengulang dan Menghafal Pelajaran Serta Mencatat Setiap Faidah yang Diperoleh
Dalam satu bait sya'ir dikatakan :
إحياء العلم مذاكرته ** فأدم للعلم مذاكرته
Menghidupkan ilmu itu dengan mudzakaroh -mengulang-ulang dan menghafalnya-
Maka teruslah mudzakarah terhadap ilmu tersebut


Sesungguhnya para ulama salaf kita terdahulu yang sholeh, saling berwasiat agar senantiasa mengulang dan menghafal pelajaran -mudzakarah-, berkata salah seorang diantara mereka : Mengulang dan menghafal pelajaran -mudzakarah- di malam hari lebih saya senangi dibandingkan dengan menghidupkan malam. Maksudnya : Duduk-ku di malam hari, mengingat-ingat ilmu dan mengingat-ingat apa yang telah saya hafal, hal itu lebih saya senangi dibandingkan dengan menghidupkan malam dengan qiro'ah, tahajjud, sholat, ruku' dan sujud.

Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu, setiap kali mendapatkan suatu faidah agar mengokohkan faidah tersebut pada dirinya, dengan cara mencatatnya di buku catatan atau di secarik kertas lalu membacanya ber-ulang-ulang sampai dia bisa menghafalnya. Para Ulama mengatakan :
" إن ما حفظ فر وما كتب قر "
Sesungguhnya apa saja yang dihafal pasti akan lari -menghilang- dan apa saja yang dicatat pasti akan tetap -kokoh-

Maksudnya adalah : apa saja yang anda catat pasti akan anda dapatkan nanti dikesempatan berikutnya. Para ulama juga menyerupakan ilmu itu dengan binatang buruan, sebagian mereka mengatakan :
العلم صيد والكتابة قيده ** فاحفظ لصيدك قيده أن يفلت
ilmu itu binatang buruan dan mencatat itu adalah pengikatnya
maka jaga pengikat binatang buruanmu jangan sampai lepas


Dakwah di Jalan Allah Ta'ala dan Bersungguh-Sungguh dalam Menyebarkan Ilmu
Ilmu syar'i ini diberikan tugas di dalam dakwah kepada Allah Ta'ala sebagai hidayah petunjuk dan bashirah, Allah Ta'ala berfirman :
{قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ} [يوسف: 108]
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf (12):108]

Oleh karena itu para da'i -juru dakwah- harus sibuk dalam setiap kesempatan, berdakwah kepada Allah ta'ala di pelbagai medan, baik di masjid, sekolah, pondok pesantren, pasar, dan di hari-hari raya serta di setiap waktu dan tempat yang tepat. Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam sungguh telah memberikan dorongan untuk menyebarkan ilmu dan memberikan motivasi kepada kita di dalam menyebarkan ilmu, -berdasarkan riwayat- dari Anas bin Malik Radhiallohu 'anhu beliau berkata : Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"نَضَّرَ اللَّهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا، ثُمَّ بَلَّغَهَا عَنِّي فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ"
Semoga Allah menjadikan bercahaya dan berseri-seri seorang hamba yang mendengar hadits-ku lalu menjaganya -dengan hafalan dan catatan-, kemudian menyampaikan hadits tersebut dari-ku, maka betapa banyak orang yang membawa ilmu, orang yang tidak faqih dan betapa banyak orang yang membawa ilmu kepada orang yang lebih faqih dari dirinya, -akan tetapi dia mendapatkan pahala karena manfaat dari ilmu yang dibawanya- [HR. Ibnu Majah][5]

_______

[1]Kitab Al 'Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin [Hal. 41]
[2]Kitab Al 'Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin [Hal. 28]
[3]Lihat : Jami' Bayan Al 'Ilmi wa Fadhlih [1/580] no. 992 dan Al Jami' li Akhlaaq Arrowiy wa Aadaab Assaami' karya Al Khotib [1/199]
[4]Lihat : Hilyah Tholib Al 'Ilmi karya Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid
[5]Sunan Ibnu Majah no. 236