Posisi yang Tepat dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Ulama Berkaitan dengan Jarh dan Ta'dil

بسم الله الرحمن الرحيم

Posisi yang Tepat dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Ulama Berkaitan dengan Jarh dan Ta'dil

Fadhilah Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiriy -Hafidzhohulloh-

الحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد

Berikut ini jawaban atas seorang penanya yang mengatakan :

Apabila saya mendengar perkataan seorang ulama dalam satu kaset rekaman atau saya membacanya dalam satu kitab -berbicara- tentang seseorang bahwasanya orang tersebut adalah mubtadi' namun saya tidak mendapati darinya satu dalilpun atas hal itu, apakah saya harus berhati-hati dari orang tersebut dan mencukupkan diri bahwa dia memang seorang mubtadi' ataukah saya bersikap pelan-pelan -lambat- tidak terburu-buru sampai saya dapatkan dalil atas hal itu?

Saya jawab :

Sesungguhnya Ahlussunnah tidaklah menetapkan seseorang itu mubtadi' kecuali setelah mengetahui -hakekatnya- dan mengukur serta menguji apa yang ada padanya secara sempurna serta mengetahui manhajnya secara sempurna, baik secara global ataupun terperinci. Berangkat dari sini maka persoalan ini menuntut kita berada pada dua pisisi :

Posisi yang Pertama :

Berkaitan dengan orang yang seorang ulama atau banyak ulama' telah menetapkan bahwa dia adalah seorang mubtadi' dan tidak ada ulama lain dari kalangan ahlussunnah yang semisal dengan mereka menyelisihi -hukum tersebut-, kalian pahami sedikit, saya katakan : tidak ada ulama lain dari kalangan ahlussunnah yang menyelisihi mereka, maka kita terima jarh mereka terhadap orang tersebut, kita terima perkataan mereka dan berhati-hati terhadap orang tersebut, selama 'ulama sunniy telah menetapkan hukum padanya dan telah men-jarh-nya, dan tidak nampak -adanya perbedaan dari- ulama ahlusunnah lainnya yang mereka semasa dengan ulama yang telah men-jarh tersebut dari saudara-saudara dan anak-anaknya dari kalangan para ulama', maka harus menerima jarh-nya, karena ulama sunniy ini yang telah men-jarh seseorang : Sesungguhnya dia tidaklah men-jarh kecuali dengan -dasar- perkara yang jelas baginya dan telah tegak padanya dalil terhadap orang tersebut, karena ini merupakan bagian dari Agama Allah, dan orang yang men-jarh atau men-ta'dil mengetahui bahwasanya dia bertanggung jawab dari apa yang dia katakan dan dia fatwakan atau dari hukum yang dia tetapkan, dia mengetahui bahwasanya dia akan ditanya oleh Allah sebelum makhluk -manusia- bertanya kepadanya.

Posisi yang Kedua :

Apabila orang tersebut yang seorang ulama atau banyak ulama telah men-jarh-nya, mereka menetapkan hukum yang menjatuhkannya dan mengharuskan untuk berhati-hati darinya -di lain sisi- ulama lain menyelisihi mereka dan menetapkan adaalah-nya bahwasanya orang tersebut di atas Sunnah atau ahkaam selain itu yang berbeda dengan ahkaam ulama lain yang telah men-jarh-nya, maka selama mereka -yang men-jarh diatas Sunnah dan mereka -yang men-ta'dil juga diatas Sunnah, mereka semua adalah orang-orang yang terpercaya dan orang-orang yang memegang amanah, maka dalan keadaan seperti ini, kita lihat pada dalilnya, oleh karena itu para ulama mengatakan :
«من عَلِمَ حُجَّة على من لم يَعْلَم»
«Orang yang mengetahui adalah hujjah atas orang yang tidak mengetahui»

-Apabila- Seorang ulama yang men-jarh berkata tentang si fulan dari kalangan manusia bahwasanya dia adalah mubtadi', jalannya menyimpang, dan -disertai dengan- mendatangkan dalil-dalil -bukti- dari kitab-kitab orang yang di-jarh tersebut, atau dari kaset-kaset rekamannya atau nukilan dari orang-orang yang terpercaya tentang orang tersebut, maka wajib bagi kita menerima perkataannya dan meninggalkan orang-orang yang men-ta'dil-nya yang menyelisihi ulama yang telah men-jarh-nya, karena mereka yang telah men-jarh orang tersebut, membawakan dalil-dalil -sebagai bukti- yang tersembunyi bagi ulama lain karena satu sebab dari berbagai sebab yang ada, atau orang yang men-ta'dil belum membaca dan belum mendengar dari ulama yang men-jarh, dia hanya membangun -ta'dilnya- berdasarkan pengetahuannya dahulu berkaitan dengan orang tersebut, bahwasanya orang tersebut dulunya di atas Sunnah. -Jika seperti itu keadaannya- maka orang yang di-jarh tersebut, yang telah tegak dalil atas jarh-nya berubah menjadi majruh -ter-jarh- dan hujjah bersama dengan orang-orang yang menegakkan dalil, dan wajib bagi yang mencari kebenaran untuk mengikuti dalil dan tidak mencari-cari jalan-jalan kecil ke kanan dan ke kiri, atau mengatakan "saya berdiri sendiri", karena -hal seperti- ini tidak pernah kita jumpai disisi As-Salaf, dan perkara-perkara ini -berupa penyimpangan- terdapat pada hal-hal yang tidak diperbolehkan ber-ijtihad didalamnya, dalam pokok-pokok aqidah dan pokok-pokok ibadah, maka menerima -pendapat- ulama yang telah menegakkan dalil adalah wajib tidak boleh tidak.

Adapun ulama sunniy yang menyelisihi para ulama yang men-jarh tadi, maka dia memiliki udzur, kedudukan dan kehormatannya tetap ada disisi kita, dan kita merasa tetap baginya insya Allah diatas kemuliaan sebagaimana dahulu, serta kedudukan yang mulia, hal ini bisa terjadi baginya, karena seorang Alim dari Ahlussunnah, salafy adalah manusia biasa, bisa lupa dan tidak ingat, bahkan bisa menjadi obyek penipuan dari orang-orang dekatnya yang buruk, atau dia terlanjur percaya terhadap orang yang ter-jarh tadi lalu dia-pun menipunya. Contoh penguat dalam kasus seperti ini sangat banyak, kebanyakan orang yang gugur dan orang-orang yang mereka pada hekekatnya adalah musuh sunnah dan musuh ahlussunnah, membawa beberapa sample dari kitab-kitabnya, mereka bacakan dihadapan ulama' yang mulia, yang dikenal dengan keutamaan dan imamah-nya dalam agama, namun orang yang main-main dan pembuat makar itu menyembunyikan dari sang alim, imam, yang tiada duanya dan benar-benar ahli dalam mengkritik ini baik atau buruk, -namun- orang yang main-main dan pembuat makar itu menyembunyikan apa yang sekiranya beliau -ulama' tadi- ketahui pasti orang ini jatuh darinya. Sang Alim ini tentu hanya memberi rekomendasi berdasarkan apa yang didengarnya, sehingga apabila kitabnya telah dicetak dan tersebar, berpindah dari tangan ke tangan, dan tersiar kepopulerannya, maka mereka akan mengatakan kepada orang yang membantahnya : telah diberi rekomendasi oleh si fulan, si fulan itu Al-Albaniy -Rahimahullan- atau Ibnu Baz -Rahimahullan- atau Ibnu Utsaimin -Rahimahullan- telah merekomendasi kitab ini.

Para ulama -yang disebutkan tersebut- Rahmatullahi alaihim memiliki udzur, dan mereka selamat dari pertanggung jawaban -insya Allah- di dunia dan di akhirat, hanya saja -masalahnya ada pada- si la'ab -orang yang suka bermain ini telah menyembunyikan dan menyamarkan -keadaannya- terhadap ulama tersebut. Jadi jika seperti itu keadaannya apalagi yang tersisa..??? kita tegakkan atas si pemalsu - Mulabbis (الملبِّس) yang suka bermain - La'aab (اللعاب), penipu - Dassaas (الدساس) lagi pembuat makar - Maakir (الماكر) ditegakkan bukti-bukti yang nyata atas penyimpangan-nya dari kitab-kitabnya sendiri, maka siapa saja yang membantah kita terkait dengan orang tersebut, kita katakan "ambil" ini pendapat orang tersebut, apakah Anda menyangka bahwa dia memaparkan pendapatnya ini sesuai dengan gambaran yang sebenarnya ini kepada orang-orang yang telah kita sebutkan tadi dari para ulama dan orang-orang yang se-manhaj lalu akhirnya mereka mengakui -kebenaran pendapat-nya itu? Jawabannya "tentu tidak", jika seperti itu -keadaannya- maka wajib bagi Anda untuk menjadi orang yang adil, lepas dari rasa simpati yang berlebihan dan dari hawa nafsu yang membutakan, dan wajib bagi Anda untuk menjadikan pencarian-mu hanyalah kebenaran. Na'am...