Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran,
Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang
diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq
ayat 1-5.[1]
Etimologi
Ditinjau
dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
"bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata
Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang
artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu
surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an
(di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah
tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu
ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Terminologi
Sebuah
sampul dari mushaf Al-Qur'an.
Dr. Subhi Al
Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah
SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun
Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an
adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf
yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan
definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan
Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam
Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang
digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
- Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
- Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
- Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
- Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
- Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
- Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
- Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
- Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
- At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
- Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
- Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
- Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
- Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
- Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
- An-Nur (cahaya): QS(4:174)
- Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
- Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
- Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Al-Qur'an
yang sedang terbuka.
Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an
terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat).
Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan
286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3
ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat
yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas
tema atau topik tertentu.
Sedangkan
menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan
surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya
tergolong surat Madaniyah.
Surat yang
turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip
keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang
turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau
seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan
sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
Juz dan manzil
Dalam skema
pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama
yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang
ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain
yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian
bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki
hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Menurut ukuran surat
Kemudian
dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi
menjadi empat bagian, yaitu:
- As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
- Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
- Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
- Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Manuskrip
dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an
memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil,
objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya
mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu
membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an
tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2
periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini
tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang
dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan
surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini
selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa
ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk
untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu
tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu
berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.
Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa
kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran
(dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang
mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat
khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah
pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga
wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga
istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa
pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an
(qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah)
antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa
depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
“
|
Suwaid bin
Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang
Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al
Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu
tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka
mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir
menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab,
'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi
lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat
baik'."
|
”
|
Menurut
Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan
ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para
sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk
meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin
Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said
bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka
agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid
dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish
karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya
untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses
penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam
berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha
manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli
dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama
dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan
Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang
tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal
tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an
menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang
bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi
(kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
- Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
- An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
- Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
Terjemahan
dalam bahasa Inggris antara lain:
- The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
- The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan
dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
- Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
- Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
- Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
- Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
- Al-Amin (bahasa Sunda)
- Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
Tafsir
Upaya
penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat
itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan
atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini
usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan
(metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik,
hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat
tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan
corak ilmiah.
Adab terhadap Al-Qur'an
Ada dua
pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang
junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika
seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an
sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk
menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[3]
Pendapat pertama
Sebelum
menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan
dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara
literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya
Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan
terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan
bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja
terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang
suci. Berdasarkan hukum pada
beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa
penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat kedua
Pendapat
kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya
(ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat
ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah
diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak
boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats
besar dan hadats kecil.
Pendapat
kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang
firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh
Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il
(subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak
ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni
dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada
yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci
tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak
najis”[5]
Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan
dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran
Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap
kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi
doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab
tersebut:
- Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
- Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
- Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
- Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
Referensi
1. ^ Al-A'zami, M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur'an
dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, ISBN 979-561-937-3.
2. ^ Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam
Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran,
(terj.), Bandung: Penerbit Mizania, ISBN 979-8394-43-7
3. ^ www.almanhaj.or.id Hukum Menyentuh Atau Memegang Al-Qur'an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan
Nifas (diakses
pada 8 Juli 2010)
4. ^ Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm.
Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani
di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu
Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil
Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil
no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas
dan menyatakannya shahih.
5. ^ Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia
berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di
salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan
junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang
(menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu
Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk
bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda,
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang
lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Daftar kepustakaan
- Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
- Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
- Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
- Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
- Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
- ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
- Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
- al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
- al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
- Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
- al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
- al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
- ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
- ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
- Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
- -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
- Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.