A. PENGERTIAN PANCASILA
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri
dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti
prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. PERUMUSAN PANCASILA
Rumusan I: Muh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1
Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan
mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara
Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr.
Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI
baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
1. peri kebangsaan
2. peri kemanusiaan
3. peri ke-Tuhanan
4. peri kerakyatan
5. kesejahteraan rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis
mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada
BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan
sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Ir. Soekarno
Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari
lahir Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan
tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip,
dan satu prinsip. Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan
istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya
ini atas saran seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah
Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan
Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Rumusan
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3. Mufakat, atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan
anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni
1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota
BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan
menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38
anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk
suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia
Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara
dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah
antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan
golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara
sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan
di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum
dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr.
Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir
paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”
(paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/
declaration of independence).
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli
1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta)
dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli
1945.
Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya
sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan
menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan
rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi
pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.
Rumusan
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa
Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan
Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera
diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari
Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan
keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar
negara.
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera
menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam.
Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan
itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui
penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi
keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan
dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan
untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan
dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya
dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan
1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik
Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima
bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan
nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara
bagian saja.
Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku
bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi
Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara
bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat
dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui
pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan
kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan
1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. perikemanusiaan,
3. kebangsaan,
4. kerakyatan
5. dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran.
Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan
bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI
Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang
intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST,
menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS
No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara
kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan)
UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan
1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. perikemanusiaan,
3. kebangsaan,
4. kerakyatan,
5. dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan
UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi
keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat
itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang
salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh
PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD
Sementara.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang
terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan. Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi
lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara
tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
2.Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.