Dalam
pandangan ilmiah, banjir dianggap sebagai fenomena ilmiah
(sunnatullah). Biasanya terjadi secara periodik dari tahun ke tahun di
musim penghujan, sayang sekali
kejadian serupa terulang terus menerus terjadi secara periodik tanpa
menyisakan pelajaran berharga untuk belajar memelihara alam agar semakin
ramah terhadap penghuninya
Secara alamiah banjir disebabkan oleh akibat kerusakan yang dibuat oleh
tangan manusia yang tidak mampu merawatnya dengan baik, sehingga
kurangnya resapan pada setiap bangunan, penyumbatan selokan akibat buang
sampah ngawur, sistem pengaliran air ke laut yang kuran terawat
diperparah oleh penggundulan hutan dan penghilangan lahan untnuk
dijadikan pemukiman dan lahan industri, ambil saja contohnya Jakarta, hampir 90.33 persen wilayahnya berupa bangunan.
Akibatnya tahun 1992 banjir di Jakarta mencapai 61 titik, meningkat di
tahun 2002 menjadi 159 titik. Dalam sekala Nasional Selama tahun 2012
ditemukan 4.291 kasus banjir yang merugikan 186.125 warga. Bahkan
menurut data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), 97 dari 180 kabupaten/kota yang ada di
Pulau Jawa berpotensi banjir. Sungguh sebuh bilangan bencana yang
mengerikan di negeri yang loh jinawi seperti ini. Pemerintah harus
selalu mencarikan jalan keluar dan tidak menganggap ini adalah kejadian
wajar tetapi pasti ada tata kelolah yang salah.
Sebagian orang memaknai banjir adalah sebagai bagian dari kutukan dan
kemurkaan Tuhan kepada manusia yang terus bergelimang maksiat. Bahkan
dalam pentas sejarah agama, Nabi-nabi terdahulu juga mengalami fenomena
banjir bandang seperti yang terjadi pada ummatnya Nabi Nuh, Hud
dan banjir yang melanda kaum Saba’. Karena ummat nabi-nabi tersebut
tidak mau taat terhadap perintah Allah. Pemaknaan teologi semacam ini
bukan tidak berdasar, karena di dalam al Qur’an dinyatakan secara
gamblang, misalnya Fenomena banjir bandang Nabi Nuh as banjir dijelaskan
secara detail dari prolog sampi epilognya tertuang dalam (QS. 11:
32-49)
Dalam beberapa ayat diantaranya peneggelaman orang orang yang tidak
bersama Nabi Nuh disebabkan karena mendustakan ayat-ayat Allah,
sebagaimana termaktub di dalam firmannya
فَكَذَّبُوهُ فَأَنْجَيْنَاهُ وَالَّذِينَ
مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا عَمِينَ
Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya). (QS. al A’raf: 64)
Dari kata “ayat-ayat kami..” dapat dipahami bukan hanya hanya ayat lafdziyah (teks) tetapi juga pengingkaran atas
ayat ayat kauniyah, dalam teologi banjir ini adalah ayat ayat
lingkungan. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa pemahaman banjir
disebabkan oleh pengingkaran atau maksiat yang dimaksud bisa jadi karena
perusakan alam yang semakin nyata dan riil, bukan murni karena kutukan.
Dalam sebuah desertasinya Dr. Mujiyono Abdillah, MA., ia tidak sepakat
apabila fenomena alam berupa banjir ditafsiri sebagai murni karena
kutukan dari Tuhan, tetapi justru sebalikanya hal-hal semacam ini lebih
pada pola tafsir secara ekologis yang dapat di cari pola penyelesaiannya
secara manusiawi dan alamiah bukan semata mata kutukan tuhan. Pemaknaan
banjir; fenomena alam atau kutukan prespektif teologis
harus didasarkan pada rasio sehat bahwa banjir yang terjadi sebab
sunnah lingkungan yang dilanggar. Karena sunnah yang dilanggar itulah
menimbulkan kutukan tuhan. Alam menjadi ‘tidak sabar’ menahan
eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh tangan jahat manusia.