Ditinjau
dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat
dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, Kebijakan
desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung
jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari
penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat
dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro,
melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity
building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan
peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam
melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan
yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya
dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.
Pemerintahan
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut
meliputi:
a.
Hubungan wewenang
b.
Keuangan
c.
Pelayanan umum
d.
Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan
administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.
A. Hubungan Wewenang
1. Pembagian urusan Pemerintahan
Ketentuan
hukum yang mengatur lebih lanjut hubungan antara pempus dan pemda sebagai
penjabaran dari dasar konstitusioanal adalah Pasal 10-18 UU Nomor 32 Tahun
2004.
Dalam kaitannya dengan hubungan pempus dan pemda maka adanya pembagian wewenang urusan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakekatnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
Dalam kaitannya dengan hubungan pempus dan pemda maka adanya pembagian wewenang urusan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakekatnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
a).
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (pemerintah)
b).
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi
c).
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota
2. Kriteria Pembagian urusan antar
Pemerintah, daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurren (artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah) secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah Kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurren (artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah) secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah Kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.
a).
Eksternalitas
Adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional
menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan
Pemerintah.
b).
Akuntabilitas
Adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa
tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c). Efisiensi
Adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan
ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam
penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan
oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila
ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah
Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan
akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka
bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian
bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah
beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan
hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan
keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang
dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan
(inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung
sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
3. Urusan Pemerintah yang menjadi
urusan pempus
Urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah meliputi:
a. Politik luar negeri;
mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam
jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan
perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri,
dan sebagainya
b. Pertahanan;
misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan
perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya,
membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan,
menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara
dan sebagainya;
c. Keamanan;
misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan
keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak
kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan
sebagainya
d. Yustisi;
misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan
lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi, amnesti, abolisi, membentuk undangundang, Peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional,
dan lain sebagainya
e. Moneter dan fiskal nasional;
misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan
moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya
f. Agama ; misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya.
f. Agama ; misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya.
Urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan
yaitu semua urusan pemerintahan di luar urusan pempus meliputi :
a.
pendidikan;
b.
kesehatan;
c.
pekerjaan umum
d.
pekerjaan umum;
e.
perumahan;
f.
penataan ruang;
g.
perencanaan pembangunan;
h.
perhubungan;
i.
lingkungan hidup;
j.
pertanahan;
k.
kependudukan dan catatan sipil;
l.
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
m.
keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
n.
sosial;
o.
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
p.
koperasi dan usaha kecil dan menengah;
q.
penanaman modal;
r.
kebudayaan dan pariwisata;
s.
kepemudaan dan olah raga;
t.
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
u.
otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah kepegawaian, dan persandian;
v.
pemberdayaan masyarakat dan desa;
w.
statistik;
x.
kearsipan;
y.
perpustakaan;
z.
komunikasi dan informatika;
aa.
pertanian dan ketahanan pangan;
bb. kehutanan;
cc.
energi dan sumber daya mineral;
dd. kelautan
dan perikanan;
ee.
perdagangan . . .
ff.
perdagangan; dan
gg. perindustrian.
4. Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan
Dalam
menyelenggarakan 6 urusan pemerintahan (pasal 10 ayat 3 UU No.32/2004)
Pemerintah :
a)
Menyelenggarakan sendiri
b)
Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau
c)
Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa.
Di
samping itu, penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan (Pasal 10 ayat 3)
Pemerintah dapat :
a)
Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan,
atau
b)
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
selaku wakil pemerintah,
c)
atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah
daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
5. Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemda
Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria-kriteria, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
a)
Urusan wajib artinya : Penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal
dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan wajib
menurut penjelasan UU No.32/2004 artinya suatu urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara seperti perlindungan hak
konstitusional, pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,
prasarana lingkungan dasar; perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan
masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan
NKRI; dan pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan
konvensi internasional.
b)
Urusan pilihan artinya : baik untuk pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpetensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan menurut PP No 38/2007 meliputi :
a.
kelautan dan perikanan;
b.
pertanian;
c.
kehutanan;
d.
energi dan sumber daya mineral;
e.
pariwisata;
f.
industri;
g.
perdagangan; dan
h.
ketransmigrasian
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan
yang dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan
urusan yang didekonsentrasikan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi (Pasal 13 UU No 32 tahun 2004):
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi (Pasal 13 UU No 32 tahun 2004):
a.
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
d.
penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.
penanganan bidang kesehatan;
f.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial;
g.
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas
kabupaten/kota;
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o.
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum
dapatdilaksanakan oleh kabupaten/kota
p.
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan
yang berskala kabupaten/kota (psl 14) meliputi:
a.
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
d.
penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.
penanganan bidang kesehatan;
f.
penyelenggaraan pendidikan;
g.
penanggulangan masalah sosial;
h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi penanaman modal;
o.
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
1.
Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.
Pembagian urusan antar pemerintah, pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007.
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.
Pembagian urusan antar pemerintah, pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007.
2.
Hubungan Dalam bidang keuangan
·
Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat
1 UU No.32/2004 meliputi :
a.
Pemberian sumber-sumber keuangan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah;
b.
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan
daerah; dan
c.
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan
daerah
·
Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah
meliputi :
a.
bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan
daerah provinsi dan. pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b.
pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung
jawab bersama;
c.
pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
d.
pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
3.
Hubungan dalam bidang pelayanan umum
·
Antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi :
a.
kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar
pelayanan minimal;
b.
pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah; dan
c.
fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan
daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
·
Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a.
pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah;
b.
kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan
pelayanan umum; dan
c.
pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
4.
Hubungan dalam bidang
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
· Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a.
kewenangan, tanggung
jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan
pelestarian;
b.
bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c.
penyerasian
lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan
·
Antar pemerintahan daerah
(horisontal) meliputi :
a.
Pelaksanaan pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b.
Kerja sama dan bagi
hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya antar
pemerintahan daerah; dan
c.
Pengelolaan perizinan
bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Daerah yang memiliki
wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.
Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar
dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan
daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut) meliputi:
a.
eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b.
pengaturan administratif;
c.
pengaturan tata
ruang;
d.
penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya
oleh Pemerintah;
e.
ikut serta dalam
pemeliharaan keamanan; dan
f.
ikut serta dalam
pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan
untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk
kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24
(dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut
dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2
(dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Dewan Perwakilan
Daerah sejak awal perubahan UUD 1945 memang tidak dimaksudkan sebagai unsur
utama dalam pembuatan undang-undang, namun menjadi lembaga yang terkait dengan
kelembagaan MPR. Adanya usulan atau pendapat untuk menguatkan kelembagaan DPD
dalam pembuatan undang-undang, yang berarti akan memberi voting right yaitu hak
untuk menolak atau menyetujui rancangan undang-undang tentunya harus dikaji
secara komprehensif.
Apabila DPD diberi
kewenangan voting right dalam pembuatan UU, haruslah dibedakan keterlibatannya,
apakah anggota DPD yang diberi hak voting right, ataukah kelembagaan DPD yang
diberi hak voting right tersebut. Apabila voting right tersebut diberikan
kepada anggota DPD, maka tidak akan diperlukan forum pengambilan putusan yang
terpisah antara DPR dan DPD, karena pada hakekatnya ada hak suara yang sama
dalam memberikan sikap terhadap sebuah rancangan undang-undang antara anggota
DPR dan DPD. Forum yang dihadiri oleh anggota DPD dan DPR menjadi forum dalam mekanisme
pengambilan putusan pembuatan undang-undang. Apabila voting right diberikan
kepada lembaga DPD dalam proses pembuatan UU, maka forum pengambilan keputusan
haruslah terpisah antara DPR dan DPD. Mekanisme ini sesuai dengan model
bicameral. Hal yang masih harus dipertimbangkan adalah posisi Presiden dalam
pembuatan undang-undang. Apakah Presiden masih terlibat dalam pembuatan
undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 setelah
perubahan. Apabila campurtangan Presiden dalam pembuatan undang-undang
dihapuskan, maka sistem pemisahan kekuasaan memang benar-benar terciptakan,
artinya pembuatan undang-undang semata-mata urusan DPD dan DPR. Apabila
Presiden masih terlibat dalam proses pembuatan undang-undang sehingga ketentuan
Pasal 20 ayat (2) masih dipertahankan maka dalam pembuatan undang-undang akan
melibatkan secara langsung tiga lembaga negara, yaitu DPR, DPD dan Presiden.
Disamping hal-hal
sebagaimana diuraikan tersebut di atas, pertimbangan kesisteman perlu
diperhatikan. Apabila dalam pembuatan undang-undang kepada DPD diberi hak
voting, maka harus juga dipertimbangkan adanya lembaga MPR yang masih tetap
eksis dalam UUD 1945 setelah perubahan. Keterlibatan DPD dalam pembuatan
undang-undang akan berarti bahwa untuk membuat undang-undang ada tiga lembaga
negara yang aktif, yaitu DPR, DPD dan Presiden. Sementara itu menurut ketentuan
Pasal 3 ayat (1) UUD setelah perubahan, MPR berwenang untuk mengubah dan
menetapkan UUD, sedangkan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Kedudukan
sebuah UUD adalah lebih tinggi dibandingkan kedudukan sebuah undang-undang,
sehingga terhadap sebuah undang-undang yang bertentangan dengan UUD dapat
dilakukan pengujian materiil. Kesisteman dari UUD akan terganggu dan
ketidaklogisan muncul karena untuk mengubah dan menetapkan UUD yang
kedudukannya lebih tinggi dari UU cukup dilakukan oleh MPR yang keanggotaannya
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, sedangkan untuk membentuk
undang-undang yang kedudukannya lebih rendah dari UUD akan melibatkan tiga lembaga
negara, Presiden, DPD dan DPR.
Sehingga dari sudut
pandang sebuah sistem konstitusi dengan mempertimbangkan hubungan antara
kewenangan lembagaan negara yang diatur didalamnya, pemberian voting right
kepada DPD dalam pembuatan undang-undang akan menimbulkan implikasi yang sangat
luas, dan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah pasal-pasal yang mengatur
kewenangan DPD saja, bahkan harus dilakukan strukturisasi ulang terhadap sistem
UUD 1945 yang berhubungan dengan eksistensi lembaga negara yang lain.
Kewenangan yang
diberikan oleh UUD kepada DPD akan menghasilkan suatu produk yang sangat
penting apabila dapat dilakukan secara lebih profesional, dan proaktif. Hak DPD
untuk ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dinyatakan oleh Pasal
22D tidaklah menjadikan DPD hanya bersifat pasif menunggu adanya rancangan
undang-undang dari Presiden atau DPR yang akan dibahas, tetapi secara proaktif
dapat mengkaji materi-materi yang seharusnya ada dalam sebuah undang-undang,
atau yang telah ada dalam sebuah undang-undang. Hasil kajian tersebut dapat
diajukan kepada DPR dalam bentuk rancangan undang-undang, atau dapat dijadikan
bahan dalam membahas rancangan undang-undang. DPD dapat menyusun sebuah
"blue print"substansi undang-undang yang akan ditawarkan kepada DPR,
baik dalam RUU versi DPD, maupun dalam pembahasan RUU. DPD cukup punya waktu
untuk melakukan hal tersebut karena tidak terganggu oleh tugas-tugas lain, dan
dalam melaksanakan fungsinya seharusnya DPD dapat lebih independent
terhindarkan diri dari kepentingan politik. Nilai karya DPD bukan karena
otoritas politiknya tetapi kualitas produknya yang semestinya lebih objektif,
dimana fungsi konstitusional tersebut diperlukan dalam kesisteman UUD.
WEWENANG
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH MENURUT PASAL 22D
UUD 1945
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan), kewenangan DPD dapat dibedakan dalam beberapa bidang, yaitu:
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan), kewenangan DPD dapat dibedakan dalam beberapa bidang, yaitu:
1.
Bidang
legislasi (pembentukan undang-undang).
Dalam bidang legislasi DPD mempunyai wewenang untuk
mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada DPR serta ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:
a.
otonomi daerah,
b.
hubungan pusat dan daerah,
c.
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
d.
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta
e.
perimbangan keuangan pusat dan daerah
2.
Bidang
konsultasi (pemberian pertimbangan).
Dalam bidang konsultasi atau pemberian pertimbangan,
DPD mempunyai kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Termasuk pula dalam fungsi konsultatif DPD adalah terkait dengan dimilikinya
wewenang untuk ikut memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 23F ayat (1) UUD 1945].
3.
Bidang
kontrol (pengawasan).
Dalam bidang kontrol (pengawasan), DPD mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
a.
otonomi daerah,
b.
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
c.
hubungan pusat dan daerah,
d.
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya,
e.
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan, dan agama.
Hasil pengawasan terhadap hal-hal tersebut kemudian
disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dari ketiga bidang tersebut, kewenangan DPD yang
berhubungan erat dengan pembentukan undang-undang adalah bidang legislasi dan
bidang konsultasi. Namun demikian, oleh karena rumusan dalam Pasal 22D tersebut
masih terlalu umum, maka pelaksanaan kewenangan DPD dalam pembentukan
undang-undang perlu ditinjau dari undang-undang yang merupakan pelaksanaan
lebih lanjut dari UUD 1945.
HAK DEWAN PERWAKILAN
DAERAH
DPD mempunyai hak:
a.
mengajukan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b.
ikut
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah;
c.
memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
d.
melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.
Hak
Anggota DPD menurut Pasal 232 UUMD3
Anggota
DPD mempunyai hak:
a.
bertanya;
b.
menyampaikan
usul dan pendapat;
c.
memilih
dan dipilih;
d.
membela
diri;
e.
imunitas;
f.
protokoler;
dan dan
g.
keuangan
dan administratif.