BAB I
PENDAHULUAN
Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan.
Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi
menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling sering dikumandangkan
adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut masalah-masalah
pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan nepotisme.
Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan
budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering
terjadi di dalam instansi pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada
umumnya diterjemahkan oleh instansi-instansi pemerintah sebagai
perbaikan kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang sering
muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka
aparatur pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap
penghasilannya sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk
masa depannya. Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus
terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat
dinilai tinggi.
Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan
para pejabat pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara
mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka
yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin
meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk
kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan
kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud.
Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya
kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pengkajian ulang remunerasi
pegawai yang meningkatkan jumlah gaji mereka terbukti tidak menurunkan
tingkat korupsi seperti yang diharapkan. Salah satu hal yang menyebabkan
hal tersebut adalah rendahnya moral dan kesadaran masyarakat mengenai
korupsi itu sendiri. Masyarakat menganggap korupsi sebagai suatu hal
yang biasa sebab tanpa disadari, kita sudah terbiasa melakukan korupsi.
Misalnya saja dalam penyediaan alat tulis kantor, pegawai terbiasa
mengambil uang yang tersisa dari dana yang disediakan. Padahal
sesungguhnya dana tersebut harus dikembalikan pada organisasi. Akibat
adanya kebiasaan korupsi ini, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat
sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan cara
mengubah kebiasaan masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma bahwa
korupsi ini adalah suatu hal yang salah.
Cara ini mulai dilakukan oleh pemerintah melalui sekolah-sekolah dengan
menerapkan sistem kantin kejujuran. Kantin kejujuran adalah sebuah
sistem kantin dimana murid-murid mengambil sendiri barang apa yang ia
inginkan. Sekilas sistem ini terlihat seperti suatu sistem yang biasa
dilakukan di supermarket dimana konsumen melayani dirinya sendiri. Namun
di kantin kejujuran, murid bukan hanya harus melayani dirinya sendiri
tapi juga harus membayar serta mengambil kembalian sendiri tanpa adanya
orang yang mengawasai, sehingga hal ini merupakan solusi untuk
mempersiapkan masyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran. Dengan kata
lain, sistem kantin ini berbeda dari kantin-kantin yang ada umumnya
karena di sini tidak terdapat penjual. Sistem kantin kejujuran ini dapat
merangsang kejujuran murid karena ia akan belajar menjadi orang yang
berusaha menjaga amanat yang diberikan oleh orang lain kepada dirinya.
Di samping itu, kantin kejujuran juga memberikan kontribusi dalam
mencerdaskan murid khususnya untuk perhitungan matematis. Kantin
kejujuran merupakan upaya preventif dalam menangkal terjadinya tindak
korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut
Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini
Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri
Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah
persoalan politik pemaknaan.
Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit
menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan
(extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai
pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki
jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah
subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup
pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap
masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk
tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang
konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan
administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya
untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik
maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status,
atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula
dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat
budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan
budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan
dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar
yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila
terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah
dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut
berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
B. Sebab-Sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka
ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan
pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor secara
umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain
yaitu :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
- Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
- Kurangnya pendidikan.
- Adanya banyak kemiskinan.
- Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
- Struktur pemerintahan.
- Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
- Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi
:
- Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
- Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
- Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
- Exposures(pengungkapan) : berkaitan
dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan
apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku
(actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi
maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak
korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan
dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi,
masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan
tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri
(keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari
luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol
dan sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
4. Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
- Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
- Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
- Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
- Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
- Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
- Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
- Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
C. Macam-Macam Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU
No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33
tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat
diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23)
yaitu :
• Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari
pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas
pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara,
pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang
dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
• Model korupsi lapis kedua
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan
hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut
Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat
ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring
korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
• Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana
kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua
digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di
bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh
pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi internasional
korupsi tersebut.
D. Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau
kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat
banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan
sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan
korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap
akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam
melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
• Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
• Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
• Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :
• Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal
yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang
terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan
penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat
meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan
banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah
adanya korupsi.
• Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan
tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan
seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan
dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga
sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup
tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini
sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,
ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
• Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran
ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut
dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan
strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para
pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan
pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif
maupun secara represif antara lain :
1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang
sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan
Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri
yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan,
kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan
cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah
bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka
hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun
untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di
Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan
mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan
Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya
memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai
politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya
dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada
realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini
diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan
bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani
melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi
sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows
strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada
terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa
korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat
dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi
lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan
menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai
perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui
lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat
terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban
bangsa yang bersih dari moral korup.
5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah
pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan
jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.
Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan
tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana
perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi
kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar
harkat dan martabat kehidupan.
E. Teori Partisipasi
Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta tau keterlibatan yang
berkaitan dengan keadaaan lahiriahnya (Sastropoetro;1995). Pengertian
prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses
atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap
sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan
memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO
PNPM PPK, 2007).
Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian
sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan
seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan
tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah
bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan.
Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi
keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil
bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya
sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan
berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam pendekatan
disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi
merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan
yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari
manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
1. Syarat tumbuh partisipasi
Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya
partisipasi masyarakat, sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok,
yaitu:
1). Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
2). Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
3). Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
2. Bentuk-bentuk partisipasi
Hamijoyo membedakan bentuk partisipasi ke dalam 6 bentuk yaitu (Hamijoyo, 1979:6)
a. Partisipasi buah pikiran
Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan
guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran
diarahkan kepada penataan cra pelayanan dari lembaga atau badan yang
ada, sehingga dapat berfungsi sosial secara aktif dalam pemenuhuan
kebutuhan anggota masyrakat
b. Partisipasi tenaga
Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan
usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan
c. Partisipasi keterampilan
Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan
yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya.
Kegiatan ini biasanya diadakan dalam bentuklatihan bagi anggota
masyrakat. Partisipaso ini pada umumnya bersifat nmembina masyarakat
agar dapat memiliki kemampuan mememnuhi kebutuhannya.
d. Partisipasi uang
Partisiapasi ini adlaah untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
e. Partisipasi harta benda
Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya berupa
perkakas, laat-alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh badan pelayanan
tersebut.
f. Partisipasi sosial
Partisipasi jenis ini diberikan oleh partisipan sebagai tanda
paguuyuban, misalnya arisan, menghadiri kematian,berkecimpung dalam sutu
kegiatan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
- Drehel, Axel and Christos Kotsogiannis, Corruption Around the World: Evidence from a Structural Mode. 2004
- Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. 1985
- Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2005.
- Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. 1985
- W. Creswell, John. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: Sage Publiation, Inc.1994
WebSite
- http://diklat.sumbarprov.go.id.46.masterwebnet.com/index.php?option=com_content &task=view&id=80&Itemid=1
- http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2009/12/pengertian-korupsi-dan-dampak- negatif.html
- http://soloraya.net/2010/01/korupsi-dan-pengertiannya/
- htttp://www.pdfqueen.com/pdf/.../'pengertian-korupsi-menurut-para-ahli/