Memandang HAM, Ahmadiyah, dan Islam Secara Proporsional
HAM
adalah piagam yang telah disahkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
yang telah disepakati oleh seluruh negara yang tergabung dalam
organisasi internasional ini. Dari mulai negara-negara maju sampai
negara-negara berkembang. Semuanya harus taat dan mematuhi semua
undang-undang yang dibuat PBB. Walaupun pada kenyataannya terdapat
diskriminasi, ada negara yang diuntungkan dan ada juga yang dirugikan.
Secara
Universal, undang-undang di dalam HAM bertujuan mulia, yaitu
memperjuangkan hak dasar manusia untuk dapat hidup merdeka yang
disandarkan pada standar nilai dan otoritas, tanpa adanya intimidasi
dari siapa pun. Ini adalah sesuatu yang sangat baik dan perlu didukung,
karena tidak ada satu orang pun yang ingin ditindas, dipaksa, dan berada
di bawah intimidasi orang lain. Dalam hal ini, HAM adalah suatu
perangkat hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia yang patut
diperjuangkan.
Secara
normatif, HAM perlu kita dukung untuk melindungi setiap individu
manusia, akan tetapi secara tindak praktis sering kali disalah tafsirkan
dan disalahgunakan. HAM hanya menjadi topeng untuk melakukan hal-hal
yang justru melanggar HAM. HAM hanya menjadi legitimasi dan legalitas
ketika seseorang telah melakukan tindakan negatif. Oleh karena itu, kita
harus proporsional dalam memposisikan HAM. Jangan terlalu condong ke
kiri dan condong ke kanan, sehingga yang terjadi adalah berat sebelah.
Masalah HAM sudah lama
menjadi perdebatan panjang di kalangan Muslim. Seyogyanya, kaum Muslim
Indonesia juga mempunyai kesepakatan tentang hal ini. Apakah semua pasal
dalam Piagam Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human
Right) itu dapat diterima oleh umat Islam. Atau kita berhak untuk tidak
menerima seluruhnya. Hal ini dipertegas sendiri oleh UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM: Pasal 67:
“Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik
Indonesia wajib patuh terhadap peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima oleh Negara Republik Indonesia .”
Jika kita perhatikan anak kalimat dalam ketentuan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang rerlu kita promosikan di Indonesia
hanyalah pranata HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Ini
penting karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang
sangat luas dan beragam, bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita.
Begitu luasnya cakupan HAM yang dalam prakteknya sering menimbulkan
pergesekan. Demikianlah pernyataan dari salah satu anggota Komnas HAM,
Saharudin Daming terkait persoalan Ahmadiyah..
Dalam
kasus Ahmadiyah, kita juga harus memahaminya dengan pemikiran jernih
dan adil. Menurut lembaga ahli agama yang bernama MUI (Majelis Ulama
Indonesia), aliran ini telah disesatkan dan menyesatkan. Lembaga yang
terdiri dari ulama-ulama seluruh Indonesia ini telah sepakat bahwa
Ahmadiyah telah keluar dari mainstream Islam. Karena doktrin
utama aliran ini, yaitu dengan Nabi barunya bersinggungan dengan Islam
yang meyakini Muhammad adalah Nabi terakhir. Dari sini, fatwa MUI itu
dapat dimaklumi dengan akal sehat dan tidak perlu ada yang diragukan.
Secara
tegas, KH. Cholil Ridwan (Ketua MUI) mengatakan bahwa dalam menghadapi
kelompok seperti Ahmadiyah dan Lia Eden, sikap umat Islam dan dunia
Islam sudah jelas, yaitu bahwa semua itu adalah aliran sesat. Seluruh
dunia Islam juga tidak berbeda. MUI dan berbagai lembaga Islam
internasional sudah menyatakan hal yang sama bahwa Ahmadiyah adalah
aliran sesat yang berada di luar Islam. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah
tahun 2005, menjadikan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Orgonisasi
konferensi Islam (OKI), yang diputuskan tahun 1985.
Mengenai
Hak Asasi Manusia (HAM), KH. Cholil Ridwan mengatakan: tidak ada
hubungannya dengan hak asasi manusia, MUI sama sekali tidak memasung
siapa pun untuk memeluk agama apa pun, kebebasan beragama adalah hak
asasi setiap manusia. “Laa ikrooha fiddin,” tidak ada paksaan dalam urusan agama. “lakum diinukum waliyadin,” bagimu
agamamu dan bagiku agamaku. Jangan menanam alang-alang di kebun
keluarga, tanamlah di lahan yang kosong yang masih sangat luas.
Kebebasan memeluk agama bukan kebebasan merusak agama orang
lain.(Republika, 8 Januari 2008)
Dari
sebagian kalangan, fatwa MUI itu sangat bertentangan dengan hak asasi
manusia. Menurut mereka, setiap individu berhak untuk memeluk
kepercayaan apapun, tidak peduli aliran itu sesat atau tidak, dan
mengganggu suatu agama atau tidak. Mereka mengatakan demikian atas dasar
piagam universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Right)
yang menyatakan, “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir,
berperasaan, dan beragama; hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar
agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun
secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama
dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktikkannya,
menyembahnya, dan mengamalkannya.”
Sesuai
dengan konsep ini, maka orang mau memeluk dan mengamalkan agama jenis
agama apa saja harus dihormati dan diberi kebebasan. Tidak pandang
apakah mereka sembahyang dengan telanjang atau berendam di kolam saat
tengah malam. Tidak peduli kepercayaan itu senyeleneh apapun. Bagaimana
jika agama itu melecehkan agama lain? Apakah itu harus dibiarkan. Dan
negara tidak boleh melarangnya? Bagaimana pula jika agama/aliran itu
mengganggu ketentraman dan kemapanan agama lain?
Nah,
dari sini mulai terlihat bahwa banyak kalangan yang menyalahgunakan dan
menyalahtafsirkan HAM. Ia hanya menjadi legitimasi untuk mendukung
aliran-aliran yang dianggap sesat, seperti Ahamadiyah. Padahal apa yang
dilakukan Ahmadiyah itu melanggar HAM. Golongan ini telah banyak
menyesatkan umat Islam. Ahmadiyah telah menodai dan melecehkan ajaran
Islam dengan keyakinannya terhadap Nabi baru dan kitab baru. Sementara
di dalam Islam telah jelas dan terang bahwa Nabi terakhir adalah Nabi
Muhammad SAW dan kitab sucinya adalah Al-Qur’an. Apakah itu tidak
melanggar HAM?
Jika
kita menempatkan HAM ini secara proposional, maka tentu tidak akan
terjadi pro dan kontra seperti ini. Ketika Ahmadiyah menyebarkan ajaran
sesatnya, maka jelas aliran ini melanggar HAM. Sebab ia telah mengganggu
orang lain dengan aktifitas penyesatannya itu. Selain itu, Ahmadiyah
juga menodai agama Islam, karena ia masih bersikukuh bahwa ajarannya
masih dalam koridor Islam. Terus, kenapa kalangan yang memperjuangkan
HAM ini tidak mempersoalkan Ahmadiyah yang menjadi sumber konflik?
Ironis,
yang terjadi justru sebaliknya, MUI yang mempunyai otoritas untuk
berfatwa malah disalahkan dan dituduh melanggar HAM. Padahal MUI
bertindak sesuai dengan profesionalitasnya. Sungguh ini hanya
penyalahgunaan dan penyelewengan terhadap HAM. Perlu diketahui,
memelihara ajaran agama adalah juga bagian dari menjalankan HAM, jadi
kalau MUI memutuskan suatu aliran adalah sesat, maka itu bagian dari
HAM.
KESIMPULAN
Hak
Asasi Manusia sejatinya adalah hakiki, namun terkadang manusia salah
dalam menempatkan HAM tersebut sehingga terjadi penyelewengan dan
pelanggaran HAM. Pada kasus Ahmadiyah ini memang benar setiap warga
Indonesia memiliki hak beragama dan ini tercantum dalam Pasal 29 ayat 2.
Dan manusia wajib memilih agama sesuai dengan keiinginannya. Namun,
pada konteks ini kita dihadapkan pada dua permasalahan Hak Asasi Manusia
yang dinilai telah dilanggar ataupun telah diselewengkan. Sikap
Ahmadiyah yang dinilai telah melecehkan dan menodai agama orang lain
memang termasuk dalam pelanggaran HAM, hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Kebijakan MUI untuk melindungi dan membela agamanya sebenarnya baik,
namun hal ini pada akhirnya dinilai sebagai salah satu bentuk
pelanggaran HAM karena MUI telah melakukan penyerangan secara tidak manusiawi.
Memang
HAM adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir, namun
tidak lantas manusia itu bebas melakukan apapun sesuai kehendaknya. HAM
tetap memiliki batasan-batasan yang harus diperhatikan, batasan-batasan
itu diatur dalam undang-undang yang ditetapkan dalam hak yang dimiliki
oleh orang lain. Dalam hal ini kebebasan beragama memang diatur dalam
hukum perundang-undangan, namun tentu saja kebebasan memilih agama
tersebut janganlah sampai menodai ataupun melecehkan agama lain.
Sebaliknya menodai dan melecehkan agama orang lain juga diatur dalam
hukum perundang-undangan, dan sebagai umat beragama kita wajib membela
agama kita. Namun, jangan sampai bertindak anarkis dan tidak manusiawi,
dimana tindakan anarkis, dan tidak manusiawi tersebut juga termasuk
kedalam pelanggaran Hak Asasi Manusia.
SARAN
Pemerintah
seharusnya mampu melakukan tindakan prefentif sedini mungkin agar
tragedi tersebut tidak terjadi, dan kalaupun sampai terjadi dapat
dilakukan tindakan represif yang cepat dan tegas agar tidak menyebabkan
korban berjatuhan. Dengan serangkaian persitiwa tersebut, Indonesia
sebagai Negara Hukum yang menjunjung HAM dan demokrasi harus dapat
menjaga stabilitas kehidupan bernegara dengan menyeimbangkan antara
kebebasan dan penegakan hukum. Warga memang negara memiliki
kebebasan-kebebasan. Namun, pemerintah juga memiliki alat-alat hukum
yang mengatur kebebasan tersebut. Oleh karena itu, undang-undang yang
ditetapkan oleh pemerintah seharusnya ditaati oleh seluruh warga negara
dan ditegakkan dengan tegas oleh pemerintah, demi menjaga stabilitas,
keamanan dan ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan
kita sebagai pribadi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia harus
lebih menghormati setiap Hak Asasi Manusia yang telah tercantum dalam
undang-undang. Namun, dalam hal ini juga diperlukan penalaahan dan
pemahaman lebih Sumber : www.kompas.com
id.wikipedia.org/hak asasi manusia
www.google.com