Baca Juga Artikel Berikut
- Darah Istihadlah Ummu Habibah
- Dasar Epistemologis Aqiqah
- Hadist Tentang Bayi, Malam hari dan Etika dalam Rumah Tangga
- Hadist Tentang Bersin dan Hadist Tentang Menguap
- Hadist Tentang Riba / Bunga / Interest
Ketika kebutuhan hidup manusia
dapat terpenuhi oleh alam, manusia tidak perlu bersusah payah menghasilkan dan
mengolah makanan, mereka cukup mengambilnya dari alam. Akan tetapi, ketika alam
tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup, manusia praaksara (prasejarah) tidak
lantas berdiam diri. mereka mulai memikirkan bagaimana caranya untuk
menghasilkan makanan (food producing).
Dari sinilah muncul bahwa manusia perlu mengolah alam. Dengan demikian corak
kehidupan manusia pun berubah dari berburu dan mengumpulkan (meramu) makanan
menjadi bercocok tanam.
Pada awal bercocok tanam, mereka
melaksanakan peladangan berpindah atau pertanian lahan kering (shifting cultivation). Pelaksanaan
system ini dilakukan dengan cara membuka hutan untuk ditanami dan mereka akan
berpindah lokasi pertanian ke lahan yang lain apabila dirasa lahan yang mereka
tanami sudah tidak produktif lagi. System peladangan dapat dilaksanakan oleh
mereka ketika jumlah penduduknya masih sedikit, dan hutan sebagai lahan
pertanian masih luas. Karena jumlah penduduk bertambah, kebutuhan bahan makanan
semakin banyak dan akibatnya system perladangan lambat laun menjadi tidak
efektif lagi, ditambah lahan pertanian yang diubah menjadi lahan pemukiman.
Masyarakat awal mulai memikirkan
cara mengatasi hal ini sampai akhirnya mereka menemukan jalan keluarnya, yaitu
dengan jalan pertanian yang menetap dan mempertahankan kesuburan tanah dengan
pemupukan. Pertanian menetap dilakukan di lahan kering maupun lahan basah.
Jenis tanaman di lahan kering meliputi sayuran dan jenis yang biasa pada lahan
perladangan, yaitu padi, keladi, ubi jalar, kacang-kacangan, dan berbagai jenis
tanaman musiman serta tahunan seperti buah-buahan dan biji-bijian.
Peralihan dari masa berburu dan
mengumpulkan (meramu) makanan ke masa bercocok tanam bukanlah waktu yang
singkat dan instan.
Selama masa peralihan, manusia pemburu hidup berdampingan bersama
manusia petani. Hipotesa ini diketahui berdasar bukti dari analisis DNA yang
dilakukan peneliti dari Swedia dan Denmark terhadap kerangka empat manusia yang
digali dari sepetak tanah di Swedia. Satu kerangka merupakan petani, sementara
lainnya adalah pemburu.
Fosil ini berada dari Zaman Batu, sekitar lima ribu tahun lalu.
Sebanyak 250 juta pasang basa yang dikumpulkan dari kerangka menjadi mesin
waktu bagi peneliti untuk mempelajari genetik manusia di masa lalu.
Hasil awal menunjukkan lokasi asal dua jenis manusia dengan pola hidup
berbeda. "Profil genetik petani cocok dengan manusia yang kini hidup di
Mediterania seperti di Siprus. Tiga pemburu lain cocok dengan manusia Eropa bagian
utara," ujar peneliti genetik dari Uppsala University, Pontus Skoglund.
Temuan ini sejalan dengan teori mengenai revolusi pertanian di Eropa.
Teori itu menyebutkan pola bercocok tanam dibawa dari orang yang bermukim di
kawasan selatan ke utara. Ketika itu manusia yang bermukim di utara masih hidup
dengan cara berburu dan meramu. Kedua kelompok manusia ini kemudian bertemu dan
hidup bersamaan selama ribuan tahun.
"Mereka hidup berdampingan dengan pola hidup berbeda lalu
melakukan kawin silang," ujar peneliti evolusi biologi Mattias Jakobsson
dari Uppsala University.
Akibat perkawinan silang, manusia Eropa yang hidup saat ini tak lagi
memiliki genetik yang sama dengan manusia pemburu dan peramu dari Zaman Batu.
Namun, menurut Skoglund, beberapa fragmen genetik manusia zaman batu masih
tersimpan dalam tubuh orang Eropa modern.
Petani dari Mediterania mendapatkan pengetahuan mengenai pertanian dari
lokasi pertanian pertama yang berada di kawasan Timur Tengah sekitar 11 ribu
tahun lalu. Pertanian menyebar ke seluruh kawasan Eropa 6.000 tahun setelahnya.
*sumber :
http://www.apakabardunia.com/2012/04/peralihan-manusia-purba-berburu-bertani.html
Pada masa bercocok tanam,
kebudayaan manusia praaksara (prasejarah) mengalami perkembangan yang luar
biasa. Hasil kebudayaannya semakin bervariasi, ada yang tebuat dari batu dan
tulang, hingga dari tanah liat. Berikut ini merupakan hasil kebudayaan pada
masa bercocok tanam :
- Kapak persegi. Pada umumnya kapak ini berbentuk memanjang dengan penampangan lintang persegi. Fungsinya tergantung ukuran. Apabila berukuran besar, kapak persegi berfungsi sebagai cangkul dan namanya pun lebih dikenal dengan beliung, sedangkan yang kecil biasa disebut tatah dan berfungsi sebagai alay untuk memahat. Namun, kapak persegi yang ditemukan dalam bentuk utuh diperkirakan mempunyai fungsi magis atau berguna sebagai benda tukar perdagangan sederhana. Kapak persegi ditemukan di daerah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Dan Kalimantan.
- Kapak lonjong. Bentuk kapak ini bulat memanjang dengan ujungnya yang lancip sebagai tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya bulat melebar dan diasah hingga tajam. Secara keseluruhan bentuk permukaan kapak lonjong sudah diasah hingga halus. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanibar dan Papua.
- Mata Panah. Benda kebudayaan ini ditemukan hamper tersebar di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan terutama di kawasan Budaya Toala. Bentuk mata panah yang ditemukan di Jawa Timur pada umumnya segitiga dengan bagian basis bersayap dan cekung. Bahan yang digunakan adalah dari batu gamping. Pembuatannya dilakukan dengan sangat teliti. Pada bagian ujung tajaman dari mata panah dilicinkan dari dua arah sehingga menghasilkan tajaman yang bergerigi atau berliku-liku dan tajam. Sementara itu, mata panah yang aa di Sulawesi Selatan terbuat dari batu kaseldon dan kuarsa. Bentuk hanya dikerjakan pada bagian yang tajamnya saja dan lebih banyak bergerigi.
- Gerabah. Benda kebudayaan ini ditemukan di Sulawesi Tengah, Banyuwangi, Tanggerang, Bogor, Kerawang, dan Bandung. Teknik pembuatan gerabah pada masa bercocok tanam masih sangat sederhana, yaitu segala sesuatunya masih dikerjakan oleh tangan. Fungsi gerabah diantaranya sebagai tempat menyimpan makanan dan minuman. Dalam perkembangan berikutnya, gerabah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan dan minuman saja, tetapi lebih beraneka ragam, bahkan menjadi salah satu barang yang memiliki nilai tinggi.
- Perhiasan. Pada masa bercocok tanam ternyata manusia sudah mengenal perhiasan seperti gelang dari batu dan kulit kerang. Perhiasan seperti ini ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Perhiasan dibuat dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti dari kulit kerang, tanah liat, dan ada pula yang terbuat dari batu. Bentuk perhiasan umumnya berbentuk anting dan gelang.
Sumber referensi :
·
Farid, samsul. 2013. Sejarah Indonesia untuk
SMA-MA/SMK kelas X. Bandung : Yrama Widya