Jagat
raya seisinya adalah ciptaan allah SWT, karenanya disebut sebagai
makhluk Allah. Dan manusia, bumi, langit dan lainnya adalah bagian dari
alam. Walaupun demikian, manusia merupakan makhluk mulia. Allah SWT
menciptakan manusia tidak hanya berbeda dengan makhluk yang lain, tetapi
juga memberikan kelebihan yang tidak diberikan kepada yang lainnya. “Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang seindah-indahnya”. (Q.S. Al Ti>n:4)[2]
Sebagai
makhluk yang mulia yang dianugrahi akal, manusia dapat berfikir,
memilih yang baik dan yang buruk, dan dengan akal manusia dapat
mengembangkan kehidupannya. Oleh karena itu manusia tidak boleh
menimbulkan kerusakan terhadap alam dan lingkungan bahkan ia harus
memelihara alam dan lingkungannya (Q.S. Al-Ru>m:41).
Pada hakikatnya setiap kita hidup di tengah suatu tatanan lingkungan
hidup yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Harus memanfaatkan
keberadaanya tapi sekaligus harus mempertahankan fungsi dan kualitasnya.
Sebagaimana amanat Tuhan kepada manusia, sembari dilaksankna-Nya pula
bahwa bumi secara keseluruhan adalah suatu tatanan lingkungan hidup yang
terbesar, yang perlu senantiasa dicermati, “ Dia menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmur bumi tersebut” (Q.S.Hud/ 11:61)
Pelestarian
alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai
khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah:30, (“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khali>fah di bumi.”…).
Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan oleh
Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan
suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan
masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”[3]. Di samping itu, Surat Ar-Rahma>n,
khususnya ayat 1-12, adalah ayat yang luar biasa indah untuk
menggambarkan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai
khalifah.[4]
Ayat
ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen
studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua
bukunya “Man and Nature (1990)” dan “Religion and the Environmental Crisis (1993)”, yang disajikan sebagai berikut: “……Man
therefore occupies a particular position in this world. He is at the
axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of
nature. By being taught the names of all things he gains domination
over them, but he is given this power only because he is the vicegerent
(khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given
the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic
make up, not as a rebel against heaven.” Jelaslah bahwa tugas
manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai
khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi
(mengelola lingkungan hidup).[5]
Salah satu contoh pendekatan pelestarian lingkungan melalui Al-Qura>n
dan Al-Hadith yang berhasil adalah di Tanzania. Bekerjasama dengan
CARE-organisasi bantuan untuk memberantas kemiskinan di dunia-IFEES
menggelar pertemuan dengan para pemuka agama dan para nelayan untuk
mendiskusikan bagaimana hubungan antara ayat-ayat yang ada dalam al-Qura>n dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan ayat-ayat al-Qura>n
serta hadith, mereka berusaha meyakinkan para nelayan untuk tidak lagi
menggunakan dinamit, jala dan tombak ketika menangkap ikan.
IFEES
juga bekerjasama dengan Misali Island Conservation (MICA)-lembaga yang
bergerak dalam perlindungan terumbu karang-untuk melatih para imam-imam
masjid di Tanzania agar mampu menyampaikan pesan tentang pentingnya
menjaga kelestarian lingkungan lewat khutbah-khutbah Jumat mereka. IFEES
yang berbasis di Inggris, adalah salah satu organisasi yang pada tahun
1998 meluncurkan proyek penyadaran kelestarian lingkungan dengan
menggunakan basis ajaran Islam. "Kami mencari ajaran-ajaran yang sudah
terlupakan itu dan mengumpulkannya kembali dalam bentuk yang modern, "
kata Khalid.
"Saya
sekarang tahu bahwa cara saya menangkap ikan selama ini sudah merusak
lingkungan. Konservasi ini bukan dari mzungu (kata untuk menyebut orang
kulit putih dalam bahasa Swahili, yang digunakan di seluruh Afrika
Timur-red), tapi dari al-Quran, " ujar Salim Haji, seorang
nelayan di sebuah pulau kecil. Proyek ini membuahkan hasil setahun
setelah diluncurkan, terutama di Misali dan kepulauan Zanzibar yang
didominasi warga Muslim. Saat ini, banyak nelayan di Misali yang sudah
mengganti alat penangkap ikannya dengan alat yang lebih ramah lingkungan
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[6]
Kita
tentu masih teringat kepada peristiwa lingkungan alam berupa asap tebal
di musim kemarau panjang tahun 1994 dan 1997 yang lalu. Asap itu
diketahui berasal dari daerah atau lingkungan hidup selingkup Sumatera
Selatan, di samping Propinsi Jambi dan Propinsi kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah. Bukankah permasalahan asap tebal itu sampai pula
pengaruh buruknya hingga ke Singapura, Malaysia, Taiwan dan bahkan
Jepang.
Masalah
asap itu telah meresahkan banyak orang di negara sahabat. Orang kita
pun khawatir terhadap asap yang keberadaanya pasti dibarengi dengan
perubahan suhu bumi yang kian panas. Jangan-jangan hal itu akan
mempercepat mencairnya gunung-gunung es di kutub Utara dan kutub Selatan
serta membawa dampak pula pada tenggelamnya pulau-pulau kecil di
Nusantara beserta penghuninya.
Dalam
lingkungan hidup yang lebih sempit pula, kejadian juga searah masalah
kepadatan populasi Eceng gondok di perairan Lebak Kabupaten Ogan
komerang Ilir (OKI) atau longsoran tebing dipinggiran sungai (erosi
bantaran), ternyata tidak cuma merobohkan sebuah jembatan beton akibat
tekanan kepadatan tubuh air dan lumpur ketika banjir datang, tetapi
hanyutnya menimbulkan masalah kebersihan perairan hilir sungai Musi
khususnya dalam kota Palembang. Sementara itu pencemaran air oleh buangan limbah dari berbagai pabrik di pinggiran Sungai Musi, kiranya juga ikut berperan
mengurangi jumlah dan kualitas ikan serta udang di perairan Muara
Sungsang serta laut sekitar Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Semua
kejadian buruk tersebut dalam pandangan agama, jelas mencerminkan
kelengahan kita memegang amanat Allah SWT dalam surat Hud yang dimaksud
di atas. Seyogyanya mengingatkan kita kepada peringatan Allah dalam
Surat Rum (30) ayat 41, “ (telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian (akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke
jalan yang benar).
Kejadian
bermacam-macam permasalahan lingkungan hidup yan dialami itu, sudah
seharusnya membangun kesadaran bahwa semua itu merupakan peringatan dari
Allah Rabbul ‘alami>n atas
kelalaian manusia, dan Allah SWT mengaharuskan manusia kembali ke jalan
yang benar. Oleh karena itu manusia sudah selayaknya menarik pelajaran
berharga dari pengalaman buruk masa lalu demi kebaikan dikemudian hari.
Dalam konteks ini kita perlu berpaling kepada firman Allah dalam Surat al-Hashr (59) ayat 2, “ fa’tabiru> ya> ulil abs}a>r” ( hendaklah kamu ambil semuanya menjadi pelajaran, hai orang-orang yang berpandangan tajam). Untuk itu setidaknya ada 3 hal yang patut direnungi sesuai dengan kehendak agama yaitu:
1.
Sudahkah dipahami dan dihayati bahwa lingkungan hidup tempat kita
berada adalah sarana kesejahteraan yang memang diamantkan Tuhan YME
untuk kita lestarikan fungsi dan kualitasnya supaya senantiasa
bermanfaat dalam menopang penghambaan kita kepada sang Khalik dari waktu
ke waktu dan generasi ke generasi.
2.
Sudahkan dicermati dan diakui bahwa masalah dan tragedi lingkungan
hidup yang muncul akibat perbuatan tangan dan kelalain manusia, tidak
hanya merugikan manusia sendiri tetapi akan merugikan tetangga, bangsa,
dan negara sehingga berimplikasi pada merendahkan harkat martabat bangsa
sendiri.
3. Sudahkah disadarai dan direnungi bahwa sikap iman yang terpuji jika kita menyatakan menyesal lahir dan bathin kepada Ila>hi Rabbi>
untuk tidak mengulangi perbuatan lalai dan mungkin serakah, seraya
berjanji untuk selalu menghindari tindakan tak peduli lingkungan, demi
keberhasilan hidup sejati dalam maghfirah dan ridha ila>hi.
Timbulnya
kerusakan alam dan lingkungan hidup akibat perbuatan manusia, karena
manusia yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Manusia
mempunyai daya inisiatif, kreatif sedangkan makhluk
lainnya tidak memiliki. Oleh karena itu sejak awal Allah memperingatkan
akan adanya akibat ulah tangan manusia.
Kerusakan
yang terjadi sebagai akibat keserakahan manusia, disebabakan manusia
memperturutkan hawa nafsunya dan tidak mentaati tuntutan dan ajaran
Allah, “ Adapun orang kafir sebagian mereka menjadi pelindung
sebagian yang lain jika kamu (hai orang muslim) tidak melaksanakan apa
yang diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan besar” (Q.S. Al-Anfa>l: 73). Oleh karena itu Allah melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya” (Q.S. Al-A’ra>f:85) dan dalam Q.S. Hud:85, “Shuaib
berkata: Hai kaumku ini cukupklah takaran dan timbangan dengan adil dan
jangan kamu merugikan manusia terhadap hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
Dalam
kaitan ini Allah memberikan semacam motivasi dalam janji kebahagian
dalam kehidupan akhirat bagi orang-orang yang tidak berbuat kerusakan
atau melarang orang yang berbuat kerusakan atau melarang orang yang
berbuat itu. Hal ini dinyatakan Allah SWT,“Negeri akhirat itu, kami
jadikan untuk orang-orang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di muka bumi dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa”.
Dari
uraian di atas dapat dipahami betapa tuntutan Allah SWT bagi umat
manusia agar dapat memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup.
Dalam rangka mewujudkan tanggung jawabnya sebagai khalifah
Allah SWT di muka bumi, maka manusia mempunyai kewajiban untuk
memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup dengan cara :
1. Berdzikir kepada Allah SWT dan bersyukur kepada-Nya yaitu ingat kepada-Nya dengan selalu
mengingat ciptaan dan tujuan dari ciptaan-Nya. Kemudian bersyukur
kepada Allah dan disertai memanfaatkan, memelihara nikmat dan
karunia-Nya sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
2. Merenungkan, mentadabburi dan mentafakkuri kejadian alam semesta, hal ini bertunjuan memperkokoh keyakinan terhadap keagungan dan kekuasaan Allah (Q.S. Yunus:101)
3.
Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap rahasia alam dan asal usul
kejadiannya, tujuan dan akhir kejadiannya. Melalui penelitian dan
pengakjian akan tersingkap kebesaran Allah untuk mempertebal iman dan
menambah ilmu pengetahuan guna kemaslahatan umat manusia.
4. Mengambil i’tiba>r dari umat terdahulu. Hal ini yang demikian sangat penting dan bermanfaat bagi umat manusia untuk memperoleh pelajaran dari i’tiba>r dalam
menata kehidupan masa kini dan masa depan. Karena dalam sejarah
kehidupan umat manusia terdahulu terdapat aspek-aspek positif dan
negatif, keberhasilan dan kegagalan, kesempurnaan dan kekurangan. Untuk hal tersebut kita mengambil hal-hal yang positif dan meninggalkan hal-hal yang negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Hadist Terbukti Ampuh Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup, Eramuslim, 1 November 2007
Alim Yusmin, MSc. Lingkungan dan Kadar Iman Kita, Hidayatullah.com, 27 Juni 2006
Fazlun M. Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) di Birmingham, Inggris. Islam dan Lingkungan Hidup, Green Press Network, 20 November 2007
Fuad Nabiel Al-Musawa. Islam dan Lingkungan Hidup, Kota Santri.com, Publikasi 13-05-2005
Muchtar Aflatun, wawasan al Quran tentang keseimbangan dan kelestarian Alam (Islam Humanis), Moyo Segoro Agung, jakarta,2001
Shihab Quraish, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Cetakan 13, 1996