1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara
yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama
yang luas untuk memper padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat
diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik
memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik
dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik,
tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka
yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang
salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya
politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai,
berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk
bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga
terhadap orang.
Jika
pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu
dapat men ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup
jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir
selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan
sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya
politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan
kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha
yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola
pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan
(bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi,
jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara
kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan
dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan
pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif
Struktur
mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja
yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap
diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan
masa kini.
Tipe absolut
dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang
membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang
berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan.
Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah
untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih
sempurna.
1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang
ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan
orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik,
maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan
ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam
masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik
sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial
political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah,
yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek
political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik
sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant
political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran
politik sangat tinggi.
Dalam
kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya
politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi
budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak
terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c.
Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang
komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum
parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
e.
Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana
dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f.
Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif
dan normatif dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi
terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu,
tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap
pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para
subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c.
Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output,
administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak
terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e.
Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai
partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat
cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif
(aspekinput dan output sistem politik)
c. Anggota
masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d.
Masyarakat berperan sebagai aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya politik
partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan
perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem
politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki
keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam
beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam
kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang
tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi
tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan
warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi
politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau
keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang
ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar
warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih
rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya
ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki
perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang
lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga
terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil
terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan
masalah-masalah politik.
Demokrasi
sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena
masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses
politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain
itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang
rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang
tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan
tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak
merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan
terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa
yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem
politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya
politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat
maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi
politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan
institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba
membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat
institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa
dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang
memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan
terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya
menurut Almond dan Verbatervariasi ke dalam tiga
bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial-
subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the
parochial-participant culture)