Ceramah singkat kali ini terkait erat dalam rangka persiapan Idul Adha yang diperingati sebagai napak tilas sejarah pengorbanan seorang hamba Allah yang dipilih menjadi kekasihnya (khalilullah)
yaitu Nabi Ibrahim as. sebagai kholilullah yang disematkan kepadanya
sebelum dilakukan prosesi kurban terhadap anak tercintanya, Nabi Ibrahim
mendapati perintah melalui mimpinya. Istilah arab menyebut mimpi dengan
ra’a fil manam. Oleh karena itu pakar bahasa memberikan pengertian ra’a
sebagai penglihatan yang tidak secara kasat mata, berbeda dengan kata
nadhara yang bisa dipergunakan untuk melihat sesuatu yang yang bersifat
fisik.
Dari darivasi ra’a muncul kata tarwiyah. Tarwiyah adalah hari dimana
pada saat itu Nabi Ibrahim as menerima wahyu melalui mimpinya yang
berisi perintah menyembelih (mengurbankan) putra kesayangannya
nabiyullah Isma’il as. Mimpi (ra’a fil manam) tersebut terjadi tanggal 8 dzulhijjah. Kemudian atas keraguannya Allah meneguhkan kembali di tanggal 9 Dzulhijjah yang kemudian lebih dikenal dengan hari ‘arafah. Kata ‘a-ra-fa berarti mengetahui secara mantab dan pasti. Itulah sekelumit singkat tentang istilah tarwiyah dan ‘arafah.
Puasa hari ‘arafah
Puasa di hari ‘arafah para ulama’ tidak ada berbedaan pendapat, hukumnya sunnat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah ra. Rasulullah saw bersabda:
Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)
Puasa hari ‘arafah
hukumnya sunnat bagi setiap ummat Islam, kecuali orang-orang yang
sedang menunaikan ibadah haji. Pada hari tersebut seluruh jama’ah haji
dari berbagai penjuru dunia berkumpul di padang
‘arafah menunaikan wukuf. Ketidak sunnahannya itu didsarkan atas hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda:
"Rasulullah saw. telah melarang puasa pada hari Arafah di Padang Arafah." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa-i, dan Ibnu Majah)
Hadits-hadits tersebut di atas bisa dirujuk di dalam kitab at-targhib wa
tarhib karya al Mundziri 2/111 juga terdapat di Fiqhus Sunnah karya
Sayyid Sabiq 1/380.
Puasa Hari Tarwiyah
Berbeda dengan berpuasa hari ‘arafah, berpuasa hari tarwiyah tanggal 8
Dzulhijjah para ulama’ berbeda pendapat, terkait dengan kesahihan dasar
hukum yang menjadi pondasi pelaksanaan ibadah puasa hari tarwiyah
tersebut. Hadits yang dijadikan dasar adalah
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”. (HR. Dailamiy)
Turut meriwayatkan hadits di atas adalah Kalbiy nama aslinya adalah Muhammad bin
Saab al-Kalbiy menurut penilain ulama’ hadits, Imam Hakim berpendapat,
“ia meriwayatkan hadits dari Abi Shalih hadits-hadits maudhu’ (palsu).”
Diperkuat lagi dengan dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).
Namun tidak serta merta puasa tarwiyah adalah bid’ah, karena hadits
dho’if masih bisa dijadikan sebagai landasan beramal dalam kerangka
merangsang ibadah (fadho’ilul a’mal). Bagi seseorang yang tidak memakai
hadits maudhu’ sebagai fadha’ilul a’mal bukan berarti tidaka ada alasan
lain untuk berpuasa di bulan tersebut, karena masih ada peluang hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhariy
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى
الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في
سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع
من ذلك شيء
"Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama
di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun
jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah
kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya,
kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid)". (HR Bukhari)
Hadits di atas adalah anjuran memperbanyak perbuatan baik di sepuluh
hari pertama bulan dzulhijjah, sedangkan puasa adalah salah satu amalan
baik yang banyak mendatangkan pahala jika hadits tentang puasa tarwiyah
dianggap palsu maka masih disunnahkan untuk berpuasa sunnat di tanggal
tersebut berdasarkan hadits riwayat bukhoriy ini. Oleh karena itu tidak
ada alasan bid’ah kafir dan lain sebagainya bagi yang menjalankannya.