BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Nama Pelabuhan Sunda Kelapa sudah terdengar sejak abad ke-12 M. Pada masa itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada milik kerajaan Hindu Sunda terakhir di Jawa Barat,
Pakuan Pajajaran, yang berpusat di sekitar Kota Bogor sekarang. Para
pedagang nusantara kerap singgah di Sunda Kalapa di antaranya berasal
dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar dan Madura dan bahkan
kapal-kapal asing dari Cina Selatan, Gujarat/ India Selatan, dan Arab
sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen,
kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kemenyan, kuda, anggur, dan zat warna
untuk ditukar dengan lada dan rempah-rempah yang menjadi komoditas
unggulan pada saat itu. Para pelaut Cina menyebut Sunda Kalapa dengan
nama Kota Ye-cheng yang berarti kota Kelapa. Hal ini
kemungkinan disebabkan banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di sekitar
pelabuhan Sunda Kalapa kala itu.
Bangsa Eropa pertama asal Portugis di bawah pimpinan de Alvin tiba pertama kali di Sunda Kelapa dengan armada
empat buah kapal pada tahun 1513, sekitar dua tahun setelah menaklukkan
kota Malaka. Mereka datang untuk mencari peluang perdagangan
rempah-rempah dengan dunia barat. Karena dari Malaka mereka mendengar
kabar bahwa Sunda Kalapa merupakan pelabuhan lada yang utama di kawasan
ini. Menurut catatan perjalanan Tome Pires pada masa itu Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang sibuk namun diatur dengan baik.
Beberapa tahun kemudian Portugis datang kembali dibawah pimpinan Enrique Leme
dengan membawa hadiah bagi Raja Sunda Pajajaran. Mereka diterima dengan
baik dan pada tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian antara
Portugis dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Perjanjian diabadikan pada
prasasti batu Padrao yang kini dapat dilihat di Museum
Nasional. Dengan perjanjian tersebut Portugis berhak membangun pos
dagang dan benteng di Sunda Kalapa. Pajajaran berharap Portugis dapat
membantu menghadapi serangan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan
Cirebon seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa yang
mengancam keberadaan kerajaan Hindu Sunda Pajajaran.
Pada tahun 1527 saat armada kapal Portugis kembali di bawah pimpinan Francesco de Sa
dengan persiapan untuk membangun benteng di Sunda Kalapa, ternyata
gabungan kekuatan Muslim Cirebon dan Demak berjumlah 1.452 prajurit di
bawah pimpinan Fatahillah, sudah menguasai Sunda Kelapa. Sehingga pada
saat berlabuh Portugis diserang dan berhasil dikalahkan. Atas
kemenangannya terhadap Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis, pada
tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama kota pelabuhan Sunda
Kalapa menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang nyata.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka disusun rumusan sebagai berikut:
Apa yang menjadi daya tarik pelabuhan Sunda Kelapa?
Bagaimana sejarah terjadinya pelabuhan Sunda Kelapa?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang hendak dicapai dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman tentang Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa.
Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata pelajaran Sejarah
1.4 Manfaat Penelitian
Penulisan yang
dilakukan dalam makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penyusun dan
pihak-pihak yang berkepentingan, yang diharapkan dapat memberikan
masukan yang cukup berharga.
1.5 Metode Penelitan
BAB II
LANDASAN TEORI
Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. (Wikipedia ensiklopedia, 2002)
Pelabuhan adalah tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, untuk naik turun
penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. (Perpu RI no. 69
Tahun 2001)
Pelabuhan sebagai
tumpuan tatanan kegiatan ekonomi dan kegiatan pemerintah merupakan
sarana untuk menyelenggarankan pelayanan jasa kepelabuhan dalam
menunjang penyelenggaraan angkutan laut. (Peraturan Pemerintah yang sama
Bab 11 pasal 1 ayat 1)
Pengertian lainnya adalah:
Menurut tujuan, adalah kegiatan suatu pelabuhan dapat dihubungkan dengan kepentingan ekonomi dan kepentingan pemerintah serta kepentingan lainnya.
Menurut tujuan, adalah kegiatan suatu pelabuhan dapat dihubungkan dengan kepentingan ekonomi dan kepentingan pemerintah serta kepentingan lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Daya Tarik Pelabuhan SundaKelapa
Berdiri di puncak
Menara Syahbandar di Pasar Ikan, Jakarta Utara, kita akan dapat
menikmati kawasan paling tua di Kota Jakarta yang berusia 476 tahun.
Tapi, untuk itu kita harus mau sedikit berfantasi untuk merasakan apa
yang pernah terjadi ratusan tahun lalu. Memandang ke utara terlihat
kapal-kapal Phinisi yang berdatangan dari berbagai tempat di nusantara
tengah bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Ratusan pekerja tengah
menurunkan kayu dan bahan bangunan lainnya untuk kebutuhan ibu kota.
Membaur di antara para pekerja ini terlihat para wisatawan bule yang
tertarik akan keberadaan kapal ini.
Kira-kira 300 meter ke
arah selatan menara, kita akan mendapati jembatan tua yang pada masa VOC
disebut Jembatan Pasar Ayam (Hoenderpasarbrug). Dinamakan demikian
karena ratusan tahun lalu pada malam hari tempat menjadi ngumpulnya
kupu-kupu malam mencari mangsa laki-laki hidung belang. Pada tempo
doeloe, kapal-kapal dapat berlayar hingga ke arah hulu Sungai
Ciliwung. Kala itu jembatan dapat dinaikturunkan. Menurut keterangan,
letak Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa kejayaannya sekitar 700 meter
dari muara Ciliwung. Pada masa Kerajaan Pajajaran yang berpusat di
Pakuan (Bogor) perdagangan melalui sungai antara Pakuan dan Sunda Kelapa
cukup ramai.
Menyusuri Ciliwung ke
Sunda Kelapa selama dua hari, perahu-perahu banyak membawa hasil bumi.
Kembalinya membawa barang dari mancanegara yang mereka beli di Bandar
Sunda Kelapa. Suatu organisasi Betawi beberapa tahun lalu pernah ingin
membangun patung Falatehan di Pelabuhan Sunda Kelapa, seperti patung
Victoria di pintu masuk Pelabuhan New York, AS. Untuk ini telah
dikirimkan utusan ke New York guna mempelajarinya. Entah bagaimana
rencana ini tidak kesampean.
Sineas Misbach Yusa
Biran saat hendak membuat film Fatahilah telah mengalami kesulitan untuk
menampilkan wajah Fatahilah. Akhirnya, untuk tokoh ini dalam filmnya,
Misbach menampilkan pemuda berwajah Timur Tengah tempat Fatahilah
berasal. Sebelum Perang Dunia II (1942-1945) di dekat muara Ciliwung
atau Kali Besar, warga ibu kota dapat menikmati pesta Pehcun atau pesta
air pada hari keseratus Imlek (tahun baru Cina). Ramenye kagak kepalang.
Ratusan perahu hias saling seliweran di tempat ini, kata Derahman (80),
warga Pekojan, Jakarta Barat, mengenang masa mudanya.
Menara Syahbandar yang
kini dijuluki Menara Pisa karena bangunannya agak miring akibat
lalu-lalang kontainer dan truk besar, dulu berfungsi sebagai pengawas
bagi keluar masuknya kapal-kapal dari Pelabuhan Sunda Kelapa di muara
Ciliwung. Setelah pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok usai (1886),
menara yang dalam bahasa Belanda disebut Uitlij itu sudah berkurang
perannya. Sampai 1960-an di sekitar tempat inilah tanda kilometer satu
Kota Jakarta, sebelum dipindahkan ke Monas.
Hanya beberapa meter di
sebelah kiri menara, terletak Museum Bahari, gedung bersejarah yang
pernah menjadi gudang rempah-rempah VOC. Kala itu gedung ini terletak di
tepi laut sehingga kapal-kapal ketika mengangkut barang-barang dapat
merapat ke gudang. Beberapa tahun lalu pihak Museum dan Sejarah DKI
untuk mengenang masa kejayaan Sunda Kelapa ingin membangun Museum
Rempah-rempah di tempat ini. Di depan Museum Barau, yang dulunya
merupakan laut, terdapat Pasar Heksagon berdampingan dengan Pasar Ikan.
Disebut Pasar Heksagon karena bangunannya berbentuk segi enam.
Bangunan bergaya
arsitektur Indische ini didirikan pada 1920. Bangunan ini dijadikan
sebagai balai penelitian kelautan dan ditempatkan akuarium besar dengan
berbagai jenis ikan. Di pasar ini setiap malam hingga dini hari
berlangsung lelang ikan. Pembelinya para pedagang ikan dari Jakarta dan
sekitarnya untuk dijual kepada para konsumen dari rumah ke rumah. Pasar
Ikan dulu merupakan salah satu kawasan yang banyak didatangi oleh warga
Jakarta untuk rekreasi, terutama di hari libur. Mereka datang ke tempat
ini dengan naik trem listrik yang kala itu merupakan angkutan umum utama
di Jakarta.
Di samping menikmati
akurium dengan berbagai jenis ikan, banyak yang datang untuk berziarah
ke Masjid Luar Batang karena di sini terdapat makam Habib Husein
Alaydrus yang letaknya di belakang Museum Bahari. Jakarta yang kini
metropolis dengan penduduk 11 juta sebagai kota pelabuhan sudah bercorak
internasional sejak masa Sunda Kelapa. Orang dengan latar belakang
budaya, warna kulit, dan keyakinan agama yang berbeda-beda bertemu di
Sunda Kelapa sudah berabad-abad lamanya.
Dalam sejarah kota ini
mereka bergaul tanpa prasangka. Bermacam-macam bahasa terdengar di
pelabuhan, dalam kantor, gereja, masjid, dan kelenteng. Sekalipun kini
Pelabuhan Sunda Kelapa bukan lagi bandar besar, kastel-kastel
peninggalan Belanda sudah menjadi gedung tua yang eksotik. Tapi, di
Sunda Kelapa kita masih dapat merasakan nostalgia sejarah.
Pelabuhan Sunda Kelapa
dari sisi ekonomi memang memiliki nilai strategis, karena berdekatan
dengan pusat-pusat perdagangan di Jakarta, seperti Glodok, Pasar Pagi,
Mangga Dua, dan lain-lain. Wisatawan yang berkunjung ke sini dapat
melihat keramaian aktivitas bongkar muat barang-barang kapal antarpulau
berukuran 175 BRT (500 m2) yang mengangkut barang kebutuhan sehari-hari,
seperti sembako dan tekstil. Selain itu, pengunjung juga dapat melihat
aktivitas bongkar muat barang-barang lainnya, seperti, besi beton, kayu
gergajian, rotan, kaoliang, dan kopra. Yang menarik, bongkar muat barang
di pelabuhan ini masih menggunakan cara tradisional, yakni menggunakan
tenaga manusia.
Ramainya aktivitas
bongkar muat barang komoditas perdagangan ini sebenarnya memang
ditunjang oleh kondisi fisik di pelabuhan tersebut. Menurut catatan,
pelabuhan ini mempunyai luas daratan sekitar 760 hektar dan luas
perairan sebesar 16.470 hektar yang terdiri dari pelabuhan utama dan
Pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama memiliki panjang area 3.250 meter
dengan luas kolam 12.000 meter persegi, sedangkan Pelabuhan Kalibaru
mempunyai panjang area 750 meter dengan luas daratan sekitar 343.339
meter persegi. Dengan ukuran tersebut, pelabuhan utama setidaknya bisa
menampung sekitar 70 perayu layar motor, dan untuk Pelabuhan Kalibaru
dapat menampung sekitar 65 kapal motor antarpulau.
Wisatawan yang
berkunjung ke Pelabuhan Sunda Kelapa juga dapat menyaksikan bangunan
atau benda bersejarah lainnya yang masih terdapat dalam kompleks
pelabuhan, seperti Museum Bahari, bekas galangan VOC, Menara Syah
Bandar, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Wayang. Di samping itu, di
kompleks pelabuhan ini juga terdapat pasar ikan yang menjajakan aneka
jenis ikan laut. Sekitar 2 kilometer dari pelabuhan, wisatawan juga
dapat mengunjungi stasiun kereta api peninggalan zaman Belanda, bernama
Stasiun Kereta Api Kota atau dikenal dengan sebutan BEOS (Batavia En Om
Streken).
3.2 Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa
Sunda Kelapa merupakan sebutan sebuah
pelabuhan tradisional di teluk Jakarta. Nama kelapa diambil dari berita
yang terdapat dalam tulisan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang
berjudul Suma Oriental. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama
pelabuhan itu adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini berada di
bawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian pelabuhan ini disebut
Sunda Kelapa.
Pelabuhan Sunda Kelapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda
yang beribukota di Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan
para penjelajah Eropa, Sunda Kelapa diperebutkan antara
kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil
menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini
mengganti nama-nama pelabuhan Sunda Kelapa dan daerah sekitarnya. Namun
pada awal tahun 1970-an, nama kuno “Sunda Kelapa” kembali digunakan
sebagai nama resmi pelabuhan tua ini.
o Masa Hindu-Buddha
Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa
merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk.[1] Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari.
Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
o Masa Islam dan awal kolonialisme Barat
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad
ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut
dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka
bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka
dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan
Asia Timur.
Tome Pires,
salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di
pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan
bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan
pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa
dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak
diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta
buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda
Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas
potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai
Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang
terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk
dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar
100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu,
Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah
yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000
ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa
barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d’Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri
undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa
untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu
kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang
Muslim ini pada awalnya adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522
dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan
membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di
Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000
keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padra dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah.
Padra itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat
(Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian
persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu
ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini. Maka pada tanggal 22 Juni 1527,
pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini
selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama
Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan
sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya
ialah “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha” dari
bahasa Sansekerta jayakarta (Dewanagari ?????).
o Masa kolonialisme Belanda
Kekuasaan Demak di Jayakarta tidak
berlangsung lama. Pada akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai
menjelajahi dunia dan mencari jalan ke timur. Mereka menugaskan Cornelis
de Houtman untuk berlayar ke daerah yang sekarang disebut Indonesia.
Eskspedisinya walaupun biayanya tinggi dianggap berhasil dan Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) didirikan. Dalam mencari rempah-rempah di Asia Tenggara, mereka
memerlukan basis pula. Maka dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal
30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen
yang sekaligus memusnahkannya. Di atas puing-puing Jayakarta didirikan
sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw
Hoorn (Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn
di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia. Nama ini adalah nama
sebuah suku Keltik yang pernah tinggal di wilayah negeri Belanda dewasa
ini pada zaman Romawi.
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda
Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter.
Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter.
Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini
memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu
layar dengan sistem susun sirih.
o Abad ke-19
Sekitar tahun 1859,
Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat
pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan
sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan
perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez
pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal
uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain
itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Selain itu pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan sekitar menara syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa berpindah ke wilayah selatan.
o Abad ke-20
Pada masa pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942,
Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Setelah bala tentara Dai Nippon
keluar pada tahun 1945, nama ini tetap dipakai oleh Belanda yang ingin
menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, nama Sunda Kelapa dipakai kembali. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974,
nama Sunda Kelapa dipakai lagi secara resmi sebagai nama pelabuhan.
Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar Ikan karena di situ terdapat
pasar ikan yang besar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pelabuhan Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta, Indonesia. Pelabuhan ini terletak di kelurahan Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan bersejarah
peninggalan Kota Jakarta. Pelabuhan Sunda Kelapa terletak di Jalan
Baruna Raya No.2, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta
Utara, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia. Wisatawan yang berkunjung ke
pelabuhan ini tidak dipungut biaya masuk.
Pelabuhan Sunda Kelapa
memiliki berbagai daya tarik yang berbeda dengan pelabuhan-pelabuhan
lainnya. Yaitu dengan adanya peninggalan dan jejak sejarah yang dapat
menarik para wisatawan (wisatawan domestic maupun wisatawan asing) untuk
mengunjingi pelabuhan tersebut.
4.2 Saran
Pelabuhan
memiliki nilai sejarah, ekonomi, social dan budaya. Agar Pelabuhan
Sunda Kelapa tetap menjadi daya taik wisatawan, maka harus tetap di
lestarikan, dijaga, dan dilindungi keindahan alamnay dan
peninggalan-peninggalan sejarahnya. Hal ini tentu harus mendapat
kerjasama dari semua pihak yang terlibat agar kondisi Pelabuhan sunda
Kelapa tidak memprihatinkan dan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Pasar ikan tempo doeloe
Pelabuhan Haven Batavia tempo doeloe
Pelabuhan Sunda Kelapa di masa sekarang
Pelabuhan
Sunda Kelapa kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang, terutama
kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal
phinisi atau Bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada
salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Setiap hari
tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk
bongkar muat.
Pelabuhan
Sunda Kelapa terletak di ujung sebelah utara kota Jakarta, di teluk
Jakarta, atau tepatnya terletak di jalan Baruna Raya No. 2 Jakarta
Utara, lebih kurang 8 Km sebelah barat pelabuhan laut Tanjung Priok.
Luas area pelabuhan Sunda Kelapa adalah 631.000 m2, sedangkan luas
perairannya adalah 12.090.000 m2. Alur pelabuhannya sepanjang 2 mil dan
lebar 100 m2 dibatasi dengan beton.
Bongkar muat kayu diSunda Kalapa (foto: 2005 Arie Saksono)
Di samping pelabuhan
terdapat pasar ikan yang tetap ramai hingga kini. Di depan areal menuju
pasar ikan terdapat menara pengawas atau yang dulu dikenal dengan Uitkijk toren.
Sekitar 50 meter ke arah barat menara atau terdapat Museum Bahari. Di
dalam museum ini dapat disaksikan peralatan asli, replika, gambar-gambar
dan foto-foto yang berhubungan dengan dunia bahari di Indonesia, mulai
dari zaman kerajaan hingga ekspedisi modern. Museum ini dahulu merupakan
bangunan gudang tempat menyimpan barang-barang dagang VOC di abad 17
dan 18, dan tetap dipertahankan kondisi aslinya untuk kegiatan
pariwisata. Pada sisi utara museum masih terdapat benteng asli yang
menjadi benteng bagian utara. Memasuki Jln. Tongkol di selatan museum,
kita akan tiba di lokasi bekas galangan kapal VOC atau dikenal juga
dengan VOC Shipyard atau VOC dock. Dahulu kapal-kapal yang
rusak diperbaiki di tempat ini. Bangunan panjang dengan jendela-jendela
segi tiga di atapnya kini direvitalisasi sebagai restoran dengan tetap
mempertahankan arsitektur aslinya.
Kapal kayu Phinisi diSunda Kalapa (foto: 2005 Arie Saksono)
Di sekitar kawasan
pelabuhan Sunda Kelapa hingga kini masih terdapat beberapa peninggalan
Belanda yaitu gedung-gedung yang berarsitektur indah dan megah yang
sekarang ini difungsikan sebagai museum yaitu Museum Bahari, bekas
galangan kapal VOC, Museum Fatahillah, Museum Wayang dan lain
sebagainya. Sekitar 2 km dari pelabuhan ini terdapat stasiun kereta api
Kota atau BEOS (Batavia En OmStreken). Wilayah ini merupakan
daerah yang ramai dan padat dengan adanya pusat -pusat pertokoan dan
bisnis yang ada di sekitarnya. Karena itu sejak dahulu kala pelabuhan
Sunda Kelapa sudah merupakan pelabuhan penting karena merupakan wilayah
yang strategis dan dekat dari pusat kota.
Museum Bahari.
Museum Fatahillah
Museum Wayang
BEOS (Batavia En OmStreken)