Sunda Kelapa merupakan sebutan sebuah
pelabuhan tradisional di teluk Jakarta. Nama kelapa diambil dari berita
yang terdapat dalam tulisan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang
berjudul Suma Oriental. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama
pelabuhan itu adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini berada di
bawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian pelabuhan ini disebut
Sunda Kelapa.
Pelabuhan Sunda Kelapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda
yang beribukota di Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan
para penjelajah Eropa, Sunda Kelapa diperebutkan antara
kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil
menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini
mengganti nama-nama pelabuhan Sunda Kelapa dan daerah sekitarnya. Namun
pada awal tahun 1970-an, nama kuno “Sunda Kelapa” kembali digunakan
sebagai nama resmi pelabuhan tua ini.
o Masa Hindu-Buddha
Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa
merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk.[1] Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari.
Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
o Masa Islam dan awal kolonialisme Barat
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad
ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut
dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka
bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka
dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan
Asia Timur.
Tome Pires,
salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di
pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan
bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan
pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa
dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak
diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta
buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda
Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas
potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai
Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang
terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk
dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar
100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu,
Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah
yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000
ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa
barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d’Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri
undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa
untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu
kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang
Muslim ini pada awalnya adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522
dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan
membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di
Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000
keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padra dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah.
Padra itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat
(Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian
persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu
ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini. Maka pada tanggal 22 Juni 1527,
pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini
selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama
Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan
sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya
ialah “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha” dari
bahasa Sansekerta jayakarta (Dewanagari ?????).
o Masa kolonialisme Belanda
Kekuasaan Demak di Jayakarta tidak
berlangsung lama. Pada akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai
menjelajahi dunia dan mencari jalan ke timur. Mereka menugaskan Cornelis
de Houtman untuk berlayar ke daerah yang sekarang disebut Indonesia.
Eskspedisinya walaupun biayanya tinggi dianggap berhasil dan Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) didirikan. Dalam mencari rempah-rempah di Asia Tenggara, mereka
memerlukan basis pula. Maka dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal
30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen
yang sekaligus memusnahkannya. Di atas puing-puing Jayakarta didirikan
sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw
Hoorn (Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn
di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia. Nama ini adalah nama
sebuah suku Keltik yang pernah tinggal di wilayah negeri Belanda dewasa
ini pada zaman Romawi.
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda
Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter.
Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter.
Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini
memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu
layar dengan sistem susun sirih.
o Abad ke-19
Sekitar tahun 1859,
Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat
pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan
sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan
perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez
pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal
uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain
itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Selain itu pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan sekitar menara syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa berpindah ke wilayah selatan.
o Abad ke-20
Pada masa pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942,
Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Setelah bala tentara Dai Nippon
keluar pada tahun 1945, nama ini tetap dipakai oleh Belanda yang ingin
menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, nama Sunda Kelapa dipakai kembali. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974,
nama Sunda Kelapa dipakai lagi secara resmi sebagai nama pelabuhan.
Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar Ikan karena di situ terdapat
pasar ikan yang besar.