Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melihatku disaat tidur maka seakan-akan dia melihatku pada saat terjaga dan setan tidaklah dapat menyerupaiku.” (HR. Bukhori)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melihatku disaat tidur maka sungguh dia telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku.” (HR, Tirimidzi, dia berkata ini adalah hadits hasan shahih)
Semoga apa yang anda saksikan yaitu melihat Rasulullah saw—walaupun bagian belakang tubuhnya saw—serta shalat bersamanya menjadi tanda keshalehan dan kecintaan anda kepadanya saw sebagaimana yang disebutkan oleh kedua hadits diatas.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa makna dari “Barangsiapa yang melihatku disaat tidur maka sungguh dia telah melihatku” adalah barangsiapa yang melihatku disaat mimpi maka sungguh dia telah melihatku yang sebenarnya dengan sempurna tanpa adanya keraguan dan kesangsian terhadap apa yang dilihatnya bahkan dia adalah mimpi yang sempurna. Hal ini dikuatkan oleh dua buah hadits dari Abu Qatadah dan Abu Said “maka sungguh dia telah melihat yang sebenarnya” yaitu mimpi yang benar bukan yang batil.
Al Hafizh menambahkan bahwa maksudnya adalah barangsiapa yang melihatku disaat tidur dalam bentuk (rupa) yang bagaimanapun maka hendaklah orang itu bergembira dan mengetahui bahwa dia telah melihat yang sebenarnya dan mimpi itu berasal dari Allah swt dan bukanlah mimpi yang batil karena sesungguhnya setan tidaklah bisa menyerupaiku (Rasulullah saw). (Fathul Bari juz XII hal 453)
Ibnul Baqilani mengatakan bahwa makna “Sungguh dia telah melihatku” adalah mimpi orang itu benar dan bukanlah mimpi kosong atau penyerupaan dari setan. Hal ini dikuatkan dengan riwayat lain “Sungguh dia telah melihat yang sebenarnya” yaitu mimpi yang benar.
Al Qodhi mengatakan bahwa ada kemungkinan sabda Rasulullah saw “sungguh dia telah melihatku” atau “sungguh dia telah melihat yang sebenarnya karena setan tidaklah bisa menyerupai rupaku” maksudnya adalah jika orang itu melihatnya saw dengan sifatnya yang telah dikenal selama hidupnya saw. Akan tetapi jika orang itu melihat dalam bentuk yang sebaliknya maka mimpinya itu adalah ta’wil (yang masih perlu diteliti kebenarannya) bukan mimpi hakekat (sebenarnya), dan apa yang dikatakan oleh al Qodhi ini—menurut Nawawi—adalah lemah. Akan tetapi yang benar adalah bahwa orang itu sungguh telah melihat yang sebenarnya (hakekat) baik dalam sifat yang sudah dikenalnya ataupun selainnya, seperti yang disebutkan oleh al Maziri. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XV hal 36 – 37)
Adapun berbagai peristiwa dan pengalaman yang anda alami setelahnya tidaklah bisa dipastikan bahwa itu adalah implikasi dari mimpi tersebut. Namun bisa saja mimpi itu semakin menguatkan keimanan anda kepada Allah dan Rasul-Nya atau meningkatkan kualitas ibadah anda sehingga memunculkan berbagai sikap terpuji didalam diri anda, seperti : perasaan empati kepada sesama kaum muslimin yang lemah, keinginan yang kuat untuk berjihad di jalan Allah, gemar membaca dan mendengarkan Al Qur’an atau sifat-sifat terpuji lainnya. Dan semoga itu semua adalah pancaran dan cahaya keimanan yang ada didalam hati anda yang mewarnai prilaku dan sikap anda, sebagaimana sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka orang itu tidaklah termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR. Thabrani)
Juga hadits yang diriwayatkan an Nu’man bin Basyir bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, menyayangi dan perasaan diantara mereka seperti satu tubuh. Jika ada salah satu anggota tubuhnya yang sakit maka itu menjadikan seluruh tubuhnya tidak bisa tidur dan menjadi demam.” (HR. Muslim)
Untuk itu peliharalah terus sikap terpuji itu dengan senantiasa menguatkan hubungan dengan Allah swt, mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya, membaca an mempelajari kitab-Nya dan agar tetap waspada terhadap segala bentuk tipu daya dan bujuk rayu setan.
Orang Tua Melarang Jihad
Berjihad di jalan Allah swt merupakan indikasi kebenaran iman seorang muslim, sebagaimana firman Allah swt :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Artinya ; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat : 15)
Imam Al Qurthubi mengatakan bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu” adalah mereka jujur, tidak ragu-ragu dan merealisasikan keimanan itu dengan jihad dan beramal shaleh.
Sedangkan makna “Itulah orang-orang yang benar” adalah benar dalam keimanan mereka, mereka bukanlah seorang muslim yang takut terbunuh.. (al Jami’ Li Ahkamil Qura’an jilid VIII hal 611)
Banyak dalil yang menerangkan kewajiban jihad bagi seorang muslim, diantaranya firman Allah swt :
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al Hajj : 78)
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.” (QS. At Taubah : 111)
Sabda Rasulullah saw ketika beliau ditanya tentang amal apa yang paling utama? Maka beliau saw menjawab,”Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian beliau ditanya,’apa lagi?’ beliau saw menjawab,’berjihad di jalan Allah.’ kemudian beliau ditanya,’apa lagi?’ beliau saw menjawab,’Haji yang mabrur.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Selain jihad ini memiliki berbagai persyaratannya, ia juga tidaklah diwajibkan kepada orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan, seperti : seorang yang buta, pincang, sakit, sudah tua renta, anak-anak, wanita dan juga budak, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit.” (QS. An Nuur : 61)
Termasuk dalam hal ini adalah seorang pemuda yang tidak mendapatkan izin dari kedua orang tuanya kecuali apabila jihad itu sudah mencapai derajat fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim), sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa beliau didatangi seorang laki-laki yang meminta izin kepadanya untuk berjihad. Maka beliau saw bertanya,”Apakah kedua orang tuamu masih ada?’ orang itu menjawab,’ya.’ Beliau saw bersabda,’Berjihadlah pada keduanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Namun demikian anda harus meluruskan kekeliruan pemahaman kedua orang tua anda yang mengatakan bahwa jihad adalah kewajiban masa lalu yang hari ini sudah lenyap. Hendaklah anda memberikan pemahaman kepada mereka berdua secara bijaksana tentang jihad di jalan Allah, mulai dari makna, urgensi, kedudukan hingga ganjaran besar yang telah Allah sediakan bagi seorang yang syahid dijalan-Nya.
Saat Berhubungan Badan Mendengarkan Al Qur’an
Al Qur’an adalah firman Allah swt yang mulia dan harus dimuliakan oleh setiap muslim. Untuk itu para ulama menetapkan adab-adab yang harus dipenuhi oleh seorang yang hendak membaca dan mendengarkan Al Qur’an serta melarang dari segala bentuk pelecehan apalagi menghinakannya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kitab mereka.
Diantara adab seorang muslim terhadap Al Qur’an adalah mendengarkan dan menyimaknya secara seksama dengan disertai niat untuk itu sehingga ia mendapatkan rahmat dari Allah swt, sebagaimana firman-Nya ;
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf : 204)
Selain membacanya maka seorang muslim pun diharuskan untuk mentadabburinya atau merenungi makna-makna yang dikandung didalamnya untuk kemudian berupaya merealisasikannya didalam diri dan kehidupannya.
Kemudian adab lainnya yang harus dipenuhi seorang yang membaca maupun mendengarkan al Qur’an adalah dianjurkan dirinya dalam keadaan suci (berwudhu), menutup aurat dan berada di tempat yang bersih sebagai bentuk penghormatan terhadapnya.
Kemudian adab lainnya yang harus dipenuhi seorang yang membaca maupun mendengarkan al Qur’an adalah dianjurkan dirinya dalam keadaan suci (berwudhu), menutup aurat dan berada di tempat yang bersih sebagai bentuk penghormatan terhadapnya.
Dengan demikian seorang yang sedang berhubungan intim dengan pasangannya tidaklah dianjurkan sambil mendengarkan Al Qur’an, kalam suci Allah swt dikarenakan tidak terpenuhinya adab-adab yang disebutkan diatas dan yang dikhawatirkan lagi apabila hal itu jatuh kedalam pelecehan terhadapnya.
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا
Artinya : “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al Furqon : 30)
Wallahu A’lam.
Ustadz Sigit Pranowo Lc
eramuslim.com