Haji merupakan kewajiban manusia kepada Allah SWT dan rukun Islam yang kelima bagi orang muslim, baligh, berakal dan yang telah mampu (istitha'ah) yang tentunya harus dipermudah.
Lalu bagaimana dengan persyaratan bahwa yang wajib menjalankan haji itu harus istitha'ah (mampu) atau berkemampuan melakukannya? "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup (istitha'ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), bahwa sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali-Imran : 97).
Istitha'ah dalam hal ini dijelaskan oleh Rosulullah saw ialah adanya bekal dan kendaraan (zaad wa al rahilah). Bekal adalah pembiayaan membayar biaya perjalanan, biaya akomodasi dan konsumsi di tanah suci, sedangkan kendaraan adalah biaya balik ke negeri asalnya. Selain itu, istitha'ah juga dimaksudkan sebagai kecukupan atas keperluan nafkah bagi keluarga atau orang dibawah tanggungan orang yang hendak berhaji.
Tentang berhaji dengan cara berkredit ini para ulama berbeda pendapat. Pertama pendapat yang membolehkan, diantaranya Dr. Mohd. Daud Bakar, Direktur Eksekutif International Institute of Islamic Finance yang berkedudukan di Kuala Lumpur. Ia berargumentasi bahwa pola pekerjaan dan pendapatan pada zaman dahulu berbeda dengan pola pekerjaan pada zaman sekarang, dimana para pekerja pada zaman sekarang ini telah ada kontrak kerja dengan tempo dan penghasilan yang jelas.
Sehingga kredit pun bukan sesuatu yang mengkhwatirkan karena merupakan bagian dari pola pekerjaan atau aktifitas ekonomi jaman ini. Juga, tidak ada nash Al-Qur'an dan Hadist yang jelas-jelas melarang seseorang yang bakal menunaikan haji dengan uang cara kredit untuk tujuan memudahkannya, dan mungkin memudahkan keluarganya untuk menunaikan haji.
Menurut pendapat yang lain, bahwa mengenai kebolehan "haji kredit" dengan berbagai alasannya tidak perlu diterima begitu saja. Kita perlu bimbang apakah keinginan untuk "memudahkan diri untuk menjalankan perintah Allah" bukan sekedar keinginan agar mudah melakukan kunjungan dan rekreasi keluarga ke tanah suci.
Dari pihak bank atau instansi kredit, kita pun sulit membedakan antara keinginan untuk memudahkan umat Islam menjalankan perintah Allah atau hanya keinginan mencari keuntungan dari usaha kredit. Artinya, perlu melakukan usaha selektif antara kredit yang mungkin bisa dibayar dan sekiranya tidak mampu membayar dan antara perkreditan yang mengandung unsur ribawi dengan perkreditan yang murni syari'ah.
Para ulama memang memperbolehkan membayar haji secara kredit tapi harus diselesaikan menjelang keberangkatan haji. Hal ini untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat orang melaksanakan haji. Adapun hukum haji yang dilaksanakan tetap sah namun sebenarnya tidak diwajibkan yang bersangkutan.
Artinya yang dilakukan orang yang berhaji dengan pinjaman kredit bukanlah haji yang diwajibkan Allah SWT kepada hambanya, namun umrah biasa yang disunnahkan. Akan tetapi, ibadah hajinya tetap sah dan cukup sehingga pada saat mampu berhaji tidak lagi wajib qadla' (menggantinya) karena ibadah haji dengan uang kredit hukumnya sah dan cukup.
Dikutip dari Buku Risalah Nahdlatul Ulama Edisi Perdana No. 1/Thn. 1/Jumadil Awal 1428 H/Mei 2007
Lalu bagaimana dengan persyaratan bahwa yang wajib menjalankan haji itu harus istitha'ah (mampu) atau berkemampuan melakukannya? "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup (istitha'ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), bahwa sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali-Imran : 97).
Istitha'ah dalam hal ini dijelaskan oleh Rosulullah saw ialah adanya bekal dan kendaraan (zaad wa al rahilah). Bekal adalah pembiayaan membayar biaya perjalanan, biaya akomodasi dan konsumsi di tanah suci, sedangkan kendaraan adalah biaya balik ke negeri asalnya. Selain itu, istitha'ah juga dimaksudkan sebagai kecukupan atas keperluan nafkah bagi keluarga atau orang dibawah tanggungan orang yang hendak berhaji.
Tentang berhaji dengan cara berkredit ini para ulama berbeda pendapat. Pertama pendapat yang membolehkan, diantaranya Dr. Mohd. Daud Bakar, Direktur Eksekutif International Institute of Islamic Finance yang berkedudukan di Kuala Lumpur. Ia berargumentasi bahwa pola pekerjaan dan pendapatan pada zaman dahulu berbeda dengan pola pekerjaan pada zaman sekarang, dimana para pekerja pada zaman sekarang ini telah ada kontrak kerja dengan tempo dan penghasilan yang jelas.
Sehingga kredit pun bukan sesuatu yang mengkhwatirkan karena merupakan bagian dari pola pekerjaan atau aktifitas ekonomi jaman ini. Juga, tidak ada nash Al-Qur'an dan Hadist yang jelas-jelas melarang seseorang yang bakal menunaikan haji dengan uang cara kredit untuk tujuan memudahkannya, dan mungkin memudahkan keluarganya untuk menunaikan haji.
Menurut pendapat yang lain, bahwa mengenai kebolehan "haji kredit" dengan berbagai alasannya tidak perlu diterima begitu saja. Kita perlu bimbang apakah keinginan untuk "memudahkan diri untuk menjalankan perintah Allah" bukan sekedar keinginan agar mudah melakukan kunjungan dan rekreasi keluarga ke tanah suci.
Dari pihak bank atau instansi kredit, kita pun sulit membedakan antara keinginan untuk memudahkan umat Islam menjalankan perintah Allah atau hanya keinginan mencari keuntungan dari usaha kredit. Artinya, perlu melakukan usaha selektif antara kredit yang mungkin bisa dibayar dan sekiranya tidak mampu membayar dan antara perkreditan yang mengandung unsur ribawi dengan perkreditan yang murni syari'ah.
Para ulama memang memperbolehkan membayar haji secara kredit tapi harus diselesaikan menjelang keberangkatan haji. Hal ini untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat orang melaksanakan haji. Adapun hukum haji yang dilaksanakan tetap sah namun sebenarnya tidak diwajibkan yang bersangkutan.
Artinya yang dilakukan orang yang berhaji dengan pinjaman kredit bukanlah haji yang diwajibkan Allah SWT kepada hambanya, namun umrah biasa yang disunnahkan. Akan tetapi, ibadah hajinya tetap sah dan cukup sehingga pada saat mampu berhaji tidak lagi wajib qadla' (menggantinya) karena ibadah haji dengan uang kredit hukumnya sah dan cukup.
Dikutip dari Buku Risalah Nahdlatul Ulama Edisi Perdana No. 1/Thn. 1/Jumadil Awal 1428 H/Mei 2007