Ijtihad (الإجْتِحَا د)

  
1. Pengertiannya       

الإجْتِهَادُ هُوَإسْتِفْرَاغُ الْوَسْعِ فِيْ نَيْلِ حُكْمِ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ الإ سْتِنْباَطُ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ    
“Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits)”.       

هُوَالْفَقِيْهُ الْمُسْتَفْرِغُ لِوَ سْعِهِ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمِ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ الإ سْتِنْبَاطُ مِنْهُمَا 
“Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah”.
         
2. Hukumnya 
             Ada tiga kriteria hukum berijtihad:    
a.
 Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu     peristiwa sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.          
b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa 
    hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara     disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.     
c.
 Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik     ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.       

3. Syarat-syarat menjadi mujtahid
Syarat-syarat menjadi mujtahid ada 5 yaitu:
a.
 Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala     ilmu yang terkait dengannya.            
b. Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa 
   yang telah di ijma’kan.   
c.
 Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan    dasar pokok didalam berijtihad.   
d.
 Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah     mansukh mana pula yang tidak mansukh.         
e.
 Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait     dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.  

4. Pembagian ijtihad  
             Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:   
a. Ijtihad 
الفردية (fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang perorangan,     tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.   
b. Ijtihad 
الجماعية (jama’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid)     dan untuk bermusyawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.           

5. Keperluan terhadap ijtihad            
             Sejak Muadz bin Jabal diutus Rasul SAW ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah, apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
      

6. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas     
             Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada nash-nya. Qiyas itu mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.