BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara mengenai Anak Kebutuhan Khusus masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilahnya. Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
Kemudian saat ini sedang terjadi proses tranformasi pemikiran dari konsep Pendidikan Luar Biasa/PLB (special education) ke konsep pendidikan kebiutuhan khusus (special needs education). Terdapat perbedaan orientasi antara Pendidikan Luar Biasa/PLB dengan pendidikan kebutuhna khusus. Konsep pendidikan kebutuhan khusus saat ini dipandang sebagai sebuah pemikiran yang bersifat holistik, anak dipandang sebagai individu yang utuh, setiap anak memiliki hambatan untuk berkembang dan hambatan dalam belajar yang bervaraiasi. Oleh karena itu menurut paham ini pembelajaran seharusnya perpusat pada anak untuk membantu menghilangkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan, sehingga kebutuhan belajar setiap anak dapat dipenuhi.
Sehingga diperlukan pemahaman yang baik dan benar mengenai Anak kebutuhan khusus (ABK) dan Pendidikan Kebutuhan Khusus. Oleh karena itu, kelompok kami menguraikan konsep Anak Kebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan Khusus dalam makalah ini. Dan pada gilirannya diharapkan para pembaca memliki sikap yang positif dan pendirian bahwa setiap anak itu beragam, dan keragaman itu sebuah kenyataan yang harus diterima dan di akomodasi melalui pembelajaran di sekolah.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Anak Berkebutuhan Khusus?
2. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus?
3. Apa saja faktor penyebab Kebutuhan Khusus?
4. Apa pengertian Pendidikan Luar Biasa?
5. Perubahan Paradigma PLB ke Pendidikan Kebutuhan Khusus
6. Pengaruh Pendidikan Kebutuhan Khusus
7. Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus sebagai disiplin ilmu
8. Hubungan antara Konsep ABK dan PKh dengan Pendidikan Inklusif
3. Tujuan
1. Memberikan informasi atau pengetahuan kepada pembaca mengenai ABK dan PKh
2. Menumbuhkan rasa menghargai atas perbedaan
3. Meminimalisir pemikiran yang diskriminatif terhadap ABK
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh karena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagaiseorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
2. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus. Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan Pendidikan Luar Biasa yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Kebutuhan Khusus
Terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) Faktor internal pada diri anak, 2) Faktor ekternal dari lingkungan dan, 3) Kombinasi dari factor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang bersangkutan. Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami kesulitan untuk begerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada di dalam diri anak yang bersangkutan.
2. Faktor Ekternal
Faktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga dalam jangka panjang mengakibatkan anak teresbut kehilangan konsentrasi, menarik diri dan ketakutan. Akibantnya anak tidak tidak dapat belajar.
Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau konflik sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan orang yang belum dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan dengan banjir besar yang pernah dialaminya. Keadaan seperti ini menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam belajar, dan memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.
3. Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal
Kombinasi antara factor eksternal dan factor internal dapat menyebabkan terjadinya kebutuhan khusus pada sorang anak. Kebutuhan khusus yang disebabkan oleh factor ekternal dan internal sekaligus diperkirakan akan anak akan memiliki kebutuhan khusus yang lebih kompleks.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan perhataian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak memerima kehadiran anak, tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat perlakuan orang tua yang tidak tepat.
4. Pengertian Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pendidikan Kebutuhan khusus dapat diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang secara khusus memperhatikan dan membelajarkan anak berkebutuhan khusus akibat disabilitas dan keberbakatan.
Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembanganyang dialami oleh seorang anak secara individual.
5. Perubahan Paradigma PLB menjadi Pendidikan Kebutuhan khusus
1. Paradigma Pendidikan Luar Biasa/PLB
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang yang disebut Pendidikan Luar Biasa, selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan bahwa selama berabad abad di semua Negara di dunia, individu yang keadaannya berbeda dari kebanyakan indivividu pada umumnya (menyandang kecacatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan anggota kelompok yang terlalu lemah (penyanang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan, tidak mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna, keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
Di masa lalu, ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hakekat dan penyebab kecacatan menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul. Misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandanc cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lalu, anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga. Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan harus mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena
dipandang sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari sari suatu bangsa, meskipun anak-anak penyandang cacat memerlukan perhatgian ekstra (Miriam, 2001).
Pandangan orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investsi agar kelak anak dapat membalas jasa orangtuanya menjadi tidak dominan. Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai bediri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, dan panti social yang secara khusus mendidik dan merawat anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan dipandang memiliki karakteristik yang bebeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu pendidikan anak-anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak-anak lainnya. Konsep pendidikan sepeti inilah yang disebut dengan Special Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi Pendidikan Luar Biasa), yang melahirkan system sekolah segregasi (Sekolah Luar Biasa).
Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Luar Biasa) dan dalam sistem pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa). Layanan yang terpisah dari pendidikan biasa. pendidikan seperti ini disebut dengan sistem pendidikan segregasi.
Oleh karena itu terdapat dikotomi antara Pendidikan Luar Biasa/Sekolah Luar Biasa dengan pendidikan biasa/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain fokus utama dari PLB adalah label kecacatan bukan anak sebagai indvidu yang unik. Dalam paradigma Pendidikan Luar Biasa/PLB (special education)melahirkan layanan pendidikan yang bersifat segregasi dan layanan pendidikan integrasi. Layanan pendidikan segregasi yaitu layanan pendidikan yang diberikan pada satu jenis kecacatan
tertentu dalam bentuk sekolah khusus seperti sekolah khlusus untuk anak tunanetra, sekolah khusus untuk anak tunarungu, dst. Sementara itu, layanan pendidikan yang dianggap lebih maju yaitu anak-anak yang menyandang kecacatan layanan pendidikannya di satukan dengan anak bukan penyandang cacat di sekolah biasa, dengan syarat anak-anak penyandang cacat dapat diterima di sekolah biasa apabila dapat mengikuti ketentuan yang beralaku bagi anak-anak bukan penyandang cacat.
2. Paradigma Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula.
Anak-anak penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari kecacatan yang dimilinya.Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)memamdang anak termasuk anak penyandang cacat sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati.
Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) melihat kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently special needs). Anak berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3) mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tidak mustahil hambatan-hambatan tersebut akan menjadi permanent. Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan tertentu, misalnya kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, kehilangan fungsi pendengaran, perkembangan kecerdasan/kognitif yang rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik dsb.
Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hamabatan belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang membahas tentang penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan wilayah pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan dengan lokasi atau tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar biasa seperti pada konsep Pendidikan Luar Biasa/PLB (special education), tetapi lebih bersifat fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik di sekolah biasa, di sekolah khusus, di rumah (home schooling), di rumah sakit (bagi anak yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di lembaga-lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya : tunanetra atau tunagrahita), dalam paradigma Pendidikan Luar Biasa/luar biasa dilayani dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari bahwa anak dengan diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan (special educational needs) yang berbeda-beda (Miriam, 2001). Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan pendidikan yang terlalu dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistic tentang anak dan, tidak menggunakan pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini mengakibatkan timbulnyaanemia pendidikan dan menghambat pengayaan.
Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (specialeducational needs) adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak secara individual. Sejauh ini telah terjadi pergeseran atau pergerakan dalam cara berpikir dari pemahaman yang didasarkan pada pengelompokkan anak menurut identitas atau label kecacatan tertentu menuju ke arah pemahaman anak secara holisstik dan melihat anak sebagai individu yang unik. Untuk melihat proses pergeseran cara pandang seperti itu dapat dilihat pada bagan 1.1 berikut ini.
6. Pengaruh Pendidikan Kebutuhan Khusus
a) Pendidikan Kebutuhan Khusus di Negara Maju
Istilah pendidikan butuhan khusus (special needs education) dan kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) sering digunakan tetapi kadang-kadang tidak begitu jelas. Di Negara-negara maju di belahan utara, istilah tersbut sudah digunakan sejak tahu 70-an. Laporan Warnock pada tahun 1978 menekankan bahwa 20% dari jumlah anak usia sekolah memiliki kebutuhan khusus sementara pada aspek tertentu selama mereka belajar di sekolah dan mereka itu berada di sekolah biasa.
Laporan Warnock juga menekankan pentingnya memahami anak yang mempunyai kebutuhan khusus akan pendidikan (children with special educational needs) ketimbang istilah anak penyandang cacat (Stubbs, 2002). Sesungguhnya hal ini merupakan gerakan yang positif, karena ini merupakan perubahan focus perhatian dari karakteristik fisik anak (disability) ke kebutuhan pendidikan yang mereka alami. UNESCO pada awalnya menggunakan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan(special educational needs) untuk menggambarkan anak-anak penyandang cacat, tetapi dalam pernyataan Salamnca, istilah tersebut dikembalikan kepada pengertian seperti yang dimaksud pada laporan Warnock, yaitu bukan hanya menggambangkan penyandang cacat tetapi untuk menggambarkan semua anak yang memiliki kebutuhan yang diakibatkan oleh adanya hambatan dalam belajar.
Berkenaan dengan anak-anak penyandang cacat, istilah kebutuhan khusus (specialneeds) kadang-kadang membingungkan. Kebanyakan anak penyandang cacat lebih memerlukan alat-alat bantu (assistie divice) dan lingkungan yang aksesibel atau bantuan tertentu dan peralatan untuk membantu mereka agar mempunyai akses kepada kurikulum sekolah biasa, tetapi mereka sesungguhnya tidak mempunyai hambatan yang nyata dalam belajar. Akan tetapi di lain pihak banyak anak yang bukan penyandang cacat tetapi mengalami hambatan dalam belajar. Oleh sebab itu disadari atau tidak semua orang pada situasi tertentu dan pada waktu tertentu bisa mengalami hambatan belajar dan memiliki (special needs education) dan kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) istilah yang cakupannya luas, termasuk didalamnya penyandang cacat (children with disability).
b) Pendidikan Kebutuhan Khusus di Negara Berkembang
Kebijakan dan paktek pendidikan bagi anak penyandang cacat di Negara-negara bekembang dibelahan selatan banyak diimpor dari Negara maju atau merupakan kehendak dari Negara-negara pemberi bantuan (utang), atau diperkenalkan oleh elit yang mempunyai ikatan dengan Negara maju tertentu dan meniru apa yang dilakukan secara praktis di negara maju. Meskipun kebijakan dan praktek pendidkan anak penyandang cacat yang ditiru dari negara maju maksudnya baik, tetapi hasilnya bisa menjadi malapetaka karena : (1) mencabut anak penyandang cacat dari jalur sekolah biasa dan dari masyaraktnya, (2) Terjadi pelabelan melalui tes psikologi yang berasal dari negara maju yang tidak mempunyai nilai tranferabilitas kultural, (3) Sekolah khusus sering menjadi semacam tempat pembuangan anak yang tidak memiliki fasilitas yang cukup dan tidak memiliki guru yang terlatih dengan baik, (3) Menciptakan sekolah elit yang melayani sekelompok kecil anak (4) Merusak system pendukung lokal dan menggantinya dengan system yang tidak tepat. Kenyataan seperti dijelaskan di atas menjadi pendorong munculnya pemikiran dan kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan yang berkualitas yang dapat menjangkau semua anak dalam satu system pendidikan yang sama.
c) Pengaruh Gerakan Pendidikan Kebutuhan Khusus terhadap Inklusi
Harus diakui bahwa banyak pelopor dan pejuang inklusi atau pendidikan inklusif adalah pendukung pendidikan kebutuhan khusus yang tangguh. Secara pelahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa Pendidikan Luar Biasa memiliki keterbatasan. Akan tetapi banyak pelajaran yang baik yang dapat diambil dari praktek pendidikan kebutuhan khusus yang berkualitas, yaitu (1) Pembelajaran kreatif yang berpusat pada anak merespon gaya dan kebutuhan belajar secara individual, (2) Pendekatan holistic terhadap anak dengan memperhatikan semua area perkembanngan, (3) Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang secara aktif terhadap pendidikan anaknya di sekolah, (3) Pengembangan teknologi yang spesifik memfasilitasi akses terhadap pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar.
Nilai-nilai positif yang terkandung dalam pendidikan kebutuhan khusus bersesuaian dengan nilai-nilai yang terkandung dalam gerakan schools improvement. Selain itu keakhlian khusus dalam pendidikan kebutuhan khusus memungkinkan anak penyandang cacat untuk memiliki akses terhadap kurikulum atau keahlian dalam mengembangkan keterampilan dasar belajar adalah sangat penting dalam mengembangkan pendidikan inklusif bagi semua.
Dalam konteks pendidikan inklusif peranan para profesional pendidikan kebutuhan khusus berubah menjadi nara sumber (resources person) yang memfokuskan tugasnya kepada upaya menghilangkan hambatan yang ada di dalam system, agar dapat diadaptasikan kebutuhan belajar semua anak dapat dipenuhi.
7. Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga fungsi yaitu:
(1) Fungsi preventif, (2) Fungsi kompensasai, (3) Fungsi intervensi,
1. Fungsi Preventif
Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (a) akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah agar faktorfaktor lingkungan tidak menyebabkan munculnya hambatan belajar, (b) akibat faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau kehilangan fungsi pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek perkembangan dan kepribadian anak, (c) interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri anak. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan fungsi pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang yang tidak diperoleh di lingkungan keluarganya
.
2. Fungsi Intervensi
Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak. Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya. Contoh lain, seorang anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan motorik ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas, sehingga akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan supaya anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
3. Fungsi Kompensasi
Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran.
Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah pengunaan tulisan braille. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis dengan menggunakan fungsi perabaan. Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran. Contoh lain jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis melainkan dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks. Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang dimodifikasi dan disesuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh.
8. Hubungan ABK dan PKh dengan Pendidikan Inklusif
Paradigma pendidikan kebutuhan khusus melihat individu anak dari sudut pandang yang lebih holistik yaitu melihat anak dari kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangannya secara individual bukan dari label kecacatan yang dialami. Konsekuensi dari cara pandang ini melahirkan gagasan bahwa anak-anak penyandang cacat seharusnya dilayani pendidikannya bersama-sama dengan pada umumnya di sekolah biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Layanan pendididikan seperti dinamakan pendidikan inklusif yang bersifat responsive dan disesuiakan. Hal ini dirumuskan dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar (Dakar World Education Furum,April 2000). Rumusan akhir dari forum itu adalah: Tantangan utama yang diahadapi adalah menjamin visi pendidikan untuk semua yang luas sebagai konsep yang bersifat inklusif yang tercermin dari kebijakan nasional setiap negara dan pemerintah tentang kebijakan pendidikan. Pendidikan untuk semua harus mengambil tanggung jawab tentang kebutuhan golongan miskin dan tidak beruntung, termasuk, pekerja anak, anak-anak di daerah pedesaan yang terpencil, anak dari budaya-bahasa minoritas, anak/remaja di daerah konflik, remaja yang terinfekti HIV dan AIDS, dan anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus akan pendidikan (termasuk penyandang cacat). Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar dari semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan.
Prinsip pendidikan inklusif di adopsi dari Konferensi Salamca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) dan di ulang kembali pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar (2000).
Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termsuk anak-anak penyandang cacat anak-anak berbakat (gifted children),pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak serta anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994). Persoalan pokok dalam pendidikan inklusif adalah hak azasi manusi (HAM) dalam pendidikan yang dinyatakan dalam deklarasi universal tentang hak azasi manusia (Universal Declaratation of Human Right, 1948). Hal yang lebih khusus dan sangat
penting adalah hak anak untuk tidak didiskriminasikan yang dinyatakan dalan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on theRight of the Child, UN, 1989). Sebagai konsekuensi logis dari hak-hak anak ini adalah bahwa semua anak (all children)mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang ramah yang tidak diskriminaatif dalam hal kecacatan (disability), kelompok etnik (ethnicity)), agama (religion), bahasa(language), jenis kelamin (gender), kemampuan (capability) dan sebagainya. Sementara itu terdapat alasan-alasan penting seperti alasan ekonomi, sosial, dan politik untuk mencari kebijakan dan pendektan pendidikan yang berifat inklusif. Ini berarti bahwa pendidikan harus memimbulkan perkembangan personal, membangun
hubungan di antara individu, kelompok dan bangsa. Salamanca Statement and framework for Action, (1994) menjelaskan bahwa sekolah regular yang beorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua. Harus diakui bahwa banyak pelopor dan pejuang inklusi atau pendidikan inklusif adalah pendukung pendidikan kebutuhan khusus yang tangguh. Secara pelahan-laha mereka mulai menyadari bahwa Pendidikan Luar Biasa memiliki keterbatasan. Akan tetapi banyak pelajaran yang baik yang dapat diambil dari praktek pendidikan kebutuhan khsusus yang berkualitas, yaitu (1) Pembelajaran kreatif yang berpusat pada anak merespon gaya dan kebutuhan belajar secara individual, (2) Pendekatan holistic terhadap anak dengan memperhatikan semua area perkembanngan, (3) Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang secara aktif terhadap pendidikan anaknya di
sekolah, (3) Pengembangan teknologi yang spesifik memfasilitasi akses terhadap pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar.
Nilai-nilai positif yang terkandung dalam pendidikan kebutuhan khusus bersesuaian dengan nilai-nilai yang terkandung dalam gerakan schools improvement. Selain itu keakhlian khusus dalam pendidikan kebutuhan khusus memungkinkan anak penyandang cacat untuk memiliki akses terhadap kurikulum atau keahlian dalam mengembangkan keterampilan dasar belajar adalah sangat penting dalam mengembangkan pendidikan inklusif bagi semua.
Dalam konteks pendidikan inklusif peranan para profesional pendidikan kebutuhan khusus berubah menjadi nara sumber (resources person) yang memfokuskan tugasnya kepada upaya menghilangkan hambatan yang ada di dalam system, agar dapat diadaptasikan kebutuhan belajar semua anak dapat dipenuhi.
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Konsep Inklusi
Munculnya gagasan tentang pendidikan inklusif dilatarbelakangi oleh dua faktor utama yaitu adanya gerakan yang disebut schools improvement dan didorong oleh pemikiran yang berkembang dalam bidang special needs eductation. Kedua faktor tersebut dalam realitasnya terjadi melalui: (1) Lobi-lobi yang dilakukan oleh para aktivisseperti organisasi penyandang cacat, kelompok-kelopok orang tua, dan kelompok kelompok yang mendorong anak perempuan untuk memperoleh akses ke pendidikan, (2) Adanya pandangan yang menganggap bahwa program sekolah khusus dan sekolah terpadu tidak berhasil, (3) Adanya desakan yang sangat kuat terhadap sekolah agar peduli terhadap kenyataan bahwa ada sekian banyak anak yang terpinggirkan dan tidak mendapatkan akses ke pendidikan, seperti pengungsi, orang yang terinfeksi HIV/AIDS, anak-anak dari keluarga miskin, dan situasi konflik, (4) Adanya keberhasilan program-program yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam pemberantasan buta huruf dan keberhasilan program rehabilitasi berbasis masyarakat (Community Based Rehabilitation),dalam membantu mengembangkan para penyandang cacact, (5) Banyaknya contoh-contoh keberhasilan dalam praktek inklusif dalam rentang budaya dan konteks social tertentu.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan kata lain dari istilah anak penyandang cacat tetapi istilah yang lebih luas untuk menggambarkan keadaan anak yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk anak-anak penyandang cacat. Akibat dari itu mereka memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.
Anak berkebutuhan khusus meliputi dua kelompok yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen. Dilihat dari sebab-musabab munculnya kebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu karena faktor internal, faktor eksternal dan kombinasi antara faktor ekternal dan internal.
Anak-anak yang memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan (termasuk anak-anak penyandang cacat) dipandang sebagai anak yang memerlukan layanan khusus dalam pendidikan (children with speciaional educational needs). Oleh karaena itu layanan pendidikan anak anak seperti itu tidak harus selalau di sekolah khusus, tetapi dapat dilayani di sekolah biasa sepanjang hambatan belajarnya dan kebutuhannya dapat dilayani.
2. Saran
Alangkah baiknya jika seluruh pihak yang terlibat dapat merubah cara pandang serta meningkatkan pengembangan Pendidikan kebutuhan khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, Zaenal, Anak Berkebutuhan Khusus. Modul 1 Unit 1.
Alimin, Zaenal, Pendidikan Kebutuhan Khusus. Modul 1 Unit 2.