Rule
of law adalah istilah dari tradisi common law dan berbeda dengan
persamaannya dalam tradisi hukum Kontinental, yaitu Rechtsstaat (negara
yang diatur oleh hukum). Keduanya memerlukan prosedur yang adil
(procedural fairness), due process
dan persamaan di depan hukum, tetapi rule of law juga sering dianggap
memerlukan pemisahan kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia tertentu
dan demokratisasi. Baru-baru ini, rule of law dan negara hukum semakin
mirip dan perbedaan di antara kedua konsep tersebut menjadi semakin
kurang tajam.
Rule of law tumbuh dan berkembang pertama kali pada negara-negara yang menganut system seperti Inggris dan Amerika
Serikat, kedua negara tersebut mengejewantahkannya sebagai perwujudan
dari persamaan hak, kewajiban, dan derajat dalam suatu negara di hadapan
hukum. Hal tersebut berlandaskan pada nilai-nilai hak asasi manusia
(HAM), di mana setiap warga negara dianggap sama di hadapan hukum dan
berhak dijamin HAM-nya melalui sistem hukum dalam negara tersebut.
Rule of law jamak diartikan
sebagai penegakan hukum, dimana segala sesuatu harus dilaksanakan sesuai
dengan hukum. Aturan atau kaidah dilaksanakan sesuai dengan hukum yang
berlaku. Secara kontras berbeda dengan rule by law yang berarti
penegakan hukum disesuaikan dengan aturan atau kaidah yang berlaku. Saya
memahaminya, bahwa dalam rule by law, hukum merupakan panglima terhadap
kaidah, sedangan dalan rule by law, kaidahlah yang menjadi panglima
bagi hukum. Demi rule of law, dibutuhkan ketegasan penegak hukum-tidak
pandang bulu, tegas dan tajam. Sementara, dalam rule by law, sarat
dengan kepentingan. Hukum dikondisikan dapat mengamankan kebijakan
kekuasaan. Dalam rangka mengamankan kebijakan kekuasaan maka hukum-hukum
baru diciptakan. Sesuai atau tidak dengan kaidah hukum atau tidak,
bukanlah menjadi pertimbangan penting, bahkan di sengaja dikesampingkan.
Rule of law kental dengan muatan aspek keadilannya, sementara rule by
law, kental dengan berbagai bentuk diskriminasi dan pemaksaan kehendak
penguasa terhadap objek yang dikuasainya, yaitu rakyat. Lebih jauh dapat
dijelaskan sebagai berikut “Rule by law is prudential:
one rules by law (properly speaking) not because the law is higher than
oneself but because it is convenient to do so and inconvenient not to
do so. In rule of law, the law is something the government serves; in
rule by law, the government uses law as the most convenient way to
govern”.
Lalu, bagaimana kita
melihat produk hukum kita saat ini. Pergantian era, dari Orde Baru, ke
Era Reformasi ternyata belum juga menunjukkan kesungguhan penguasa
memahami arti sebenarnya rule of law. Berbagai produk hukum seperti
Undang-undang, Kepmen, maupun Perda-perda, masih sarat dengan nafas rule
by law. Negara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat
dipersalahkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum. Rule
of law mengandung asas "dignity of man" yang harus dilindungi dari
tindakan sewenang-wenang pemerintah/penguasa. (Oemar Seno
Adji, 1980). Inti dari rule of law adalah terciptanya tatanan keadilan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana rakyat bisa memperoleh
kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan dijamin hak-hak asasinya.
Cita-cita
untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif, mengakibatkan
munculnya gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan dengan suatu
konstitusi. Baik dengan naskah konstitusi yang tertulis atau (written
constitution) ataupun dengan konstitusi yang tidak tertulis(unwritten
constitution). Didalam konstitusi biasanya hak-hak warga Negara, serta
pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif
diimbangi oleh kekuasaan parlemen atau legislative dan lembaga hukum
lainnya sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan. Demokrasi
konstitusional adalah sebuah gagasan bahwa pemerintah merupakan
aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tunduk pada pembatasan
konstitusi, agar kekuasaan tidak disalah gunakan oleh pemegang
kekuasaan. Konstitusi di pandang suatu lembaga yang memiliki fungsi
khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu
pihak, dan menjamin hak hak asasi dari warga negaranya.
Indonesia
sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law
dalam negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua
pihak yang terlibat dalam proses hukum untuk berkorban dan berjuang
menyingkirkan segala kebobrokan masa lalu dan menatap pada masa depan
negara hukum Indonesia yang baru, yang memiliki the rule of law dalam
negaranya.
Konstitusi dianggap
sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara
dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil
“government by laws, not by men” yang artinya pemerintah berdasarkan
hukum bukan, bukan berdasarkan kemauan penguasa. Abad 19 dan permulaan
abad 20 gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan mendapat landasan
yuridis. Sejak ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immannuel
Khant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl memakai istilah rechsstaat,
sedangkan ahli Anglo Saxon seperti AV Dicey memakai istilah rule of law.
Empat pilar demokrasi yang didasarkan rechsstaat dan rule of law dalam
arti klasik adalah :
1. Penghargaan terhadap hak asasi manusia.
2. Pemisahan dan pembagian kekuasaan yang popular dengan “trias politica.
3. Pemerintah berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan ( Miriam Budiardjo, 1983:57)
Sebagai perbandingan pilar-pilar demokrasi yang didasarkan konsep rule of law menurut AV Dicey adalah :
1. Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang.
2. Kedudukan yang sama dalamhukum (dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat)
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang.
Konsep demokrasi berdasarkan
rule of law lahir dari paham liberalisme yang menganut dalil negara
sebagai penjaga malam. Pemerintahan hendaknya tidak terlalu banyak
mencampuri urusan warga negaranya, kecuali dalam hal yang menyangkut
kepentingan umum seperti bencana alam, hubungan luar negeri dan
pertahanan serta keamanan. Maknanya adalah rasa keadilan yang kembali
kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan dan para penguasa yang menciptakan
hukum, sebagaimana adagium Solus Populis Suprema Lex yang berarti suara
rakyat adalah suara keadilan (sic – Salus populi suprema lex artinya
kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi – Red.).
Indonesia berdiri sebagai sebuah
negara "rechtsstaat"/negara hukum (yang menurut Friedrich Julius Stahl,
memiliki empat unsur yaitu: hak-hak dasar manusia, pembagian kekuasaan,
pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan peradilan tata usaha
negara). Konsep negara hukum Indonesia terlihat dan rule of law pun
sebenarnya tercakup di dalamnya. Tetapi pada praktiknya rule of law
belum terwujud secara nyata. Baru setelah gerakan reformasi tercetus,
Indonesia kembali mencari bentuk akan identitas "negara hukumnya"dan
juga "rule of law" "Civil Law System" Indonesia sebagai negara yang
menganut civil law system (Eropa Kontinental), mengedepankan hukum
positif sebagai patokan utama dalam menjalankan tugas-tugas negara dan
juga dalam sistem peradilannya. Apabila konsep negara hukum Indonesia
dengan civil law system- nya diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip
idealnya maka rule of law sudah pasti akan dapat terwujud. Bahwa
Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri sebagai "negara hukum" atau
"rechtsstaat" sudah merupakan finalisasi dari perjalanan sejarah tata
hukum Indonesia. Juga civil law system yang dianutnya merupakan sistem
yang telah menjadi dasar tata hukum di sini.
Rule of law yang menjadi konsep
hukum dan keadilan dari negara-negara common law, merupakan suatu
tatanan baru yang ada di hadapan Indonesia saat ini. Indonesia tidak
mungkin mengubah sistem hukumnya menjadi common law system. Apakah
mungkin sebuah negara hukum Indonesia dengan sistem civil law (Eropa
Kontinental) mewujudkan rule of law dalam kehidupan berbangsa dan
bernegaranya? Jawabannya adalah mungkin. Karena pada hakikatnya konsep
negara hukum Indonesia yang ideal juga mencakup rasa keadilan dari
masyarakat dan melindungi hak-hak asasi setiap warga negara Indonesia.
Namun, sampai saat ini rule of law mungkin belum terwujud, dan itu bukan
karena sistem hukum yang salah, tetapi karena unsur manusia yang
menjadi pelaksana-pelaksana kenegaraan yang telah salah menjalankan
negara ini.
Minimal Tiga Hal Untuk dapat
mewujudkan rule of law di Indonesia, Indonesia harus melakukan minimal
tiga hal, yaitu; Pertama, hukum di Indonesia harus memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat. Maksudnya, sejak dari proses legislasi di DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) para wakil rakyat harus bisa mengejawantahkan
aspirasi keadilan rakyat dalam rancangan undang-undang yang sedang
dikerjakannya. Hukum yang diciptakan harus responsif terhadap tuntutan
akan rasa keadilan rakyat dan hukum yang diciptakan harus bersih, murni
dari intervensi politik, ekonomi, dan kepentingan sekelompok orang.
Kedua, Indonesia harus menjalankan suatu sistem peradilan yang jujur,
adil, dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sistem
peradilan Indonesia saat ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya
karena kurangnya pemahaman dan kemampuan atau bahkan kurangnya ketulusan
dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik penyidik,
penuntut umum, hakim, penasihat hukum, bahkan masyarakat pencari
keadilan.
Proses peradilan yang berjalan
tidak sebagaimana mestinya, padahal Indonesia memiliki asas peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya murah, namun akhirnya semua itu hanya
menjadi slogan semata. Disinyalir, sistem peradilan di Indonesia telah
terkontaminasi oleh "mafia peradilan". Jika ini semua belum dapat
diberantas mustahil rule of law dapat terwujud. Kasus Akbar Tanjung yang
akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung, kasus HAM Timor-Timur, dan
pembubaran TGTPK oleh judicial review MA merupakan contoh yang sangat
melukai rasa keadilan masyarakat.
Akses Publik Ketiga, Akses
publik ke peradilan harus ditingkatkan. Hukum positif Indonesia telah
merumuskan sejumlah hak masyarakat pencari keadilan yang terlibat dalam
proses peradilan pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak yang
diberikan kepada pencari keadilan dalam sistem peradilan Indonesia tidak
tertinggal dari negara-negara lain, dan umumnya mengikuti norma dan
prinsip dalam instrumen internasional. Akan tetapi dalam banyak
peristiwa justru kewenangan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum
tersebut telah disalahgunakan sehingga merugikan hak para pencari
keadilan. Sejumlah kenyataan lain yang sering dijumpai adalah awal
pemeriksaan yang tidak pasti, intimidasi, meremehkan keterangan yang
diberikan, dan lain sebagainya. Tidak jarang pula pemeriksaan terhadap
tersangka memiliki kendala yang dialami oleh penyidik. Salah satunya
yang sering muncul adalah tersangka dengan sengaja mempersulit jalannya
pemeriksaan. Ini mengakibatkan polisi sebagai penyidik menggunakan
berbagai upaya baik yang lazim maupun tidak agar penyelesaian dapat
berjalan cepat. Oleh karena itu untuk mewujudkan rule of law, akses
publik ke peradilan jelas harus ditingkatkan