A. Sejarah Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia
Pada
mulanya Islam mengembangkan sayapnya melalui daerah pesisiran yakni abad
ketigabelas. Ketika itu masyarakat Indonesia terdiri dari kelompok
masyarakat yang terpisah dan berdiri sendiri. Kelompok terbesar dan
mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi adalah di pulau jawa.
Kedatangan Islam menyuguhkan konsep dan prinsip pemersatu, yang
memungkinkan masyarakat Indonesia berfikir serba supra lokal. Contohnya
gagasan tentang ummat, yakni “paguyuban orang-orang muslim”.
Konsep-konsep yang disumbangkan Islam kepada masyarakat Indonesia adalah
lebih ditonjolkan dalam bidang hukum. Dalam hal-hal tertentu,
nilai-nilai agama lama bahkan tetap menjadi pegangan bagi sebagaian para
penguasa. Adapun lembaga-lembaga Islam seperti Qada pada waktu itu
hanya merupakan satu bagian dari kewenangannya. Memang pengembangan dan
pemantapan hukum yang digerakkan oleh umat Islam merupakan problem
universal dan dianggap mendesak untuk diperlukan terutama dalam
masyarakat yang vacuum dengan prinsip dia mampu berjalan dalam
lingkungannya.
Langkah-langkah umat Islam pada masa awalnya
mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat. Penganutnya pun semakin
bertambah dan pada akhirnya terbentuklah suatu komunitas umat Islam
dalam masyarakat yang pada gilirannya memerlukan tatanan hukum yang
menginterpretasikan aspirasinya.
1. Peran Umat Islam Dalam Bidang Hukum Pra Kemerdekaan
Dalam
sejarah perjuangan umat Islam bahwa kalangan pejabat agama tidak pernah
berada di garis depan perjuangan Islam, baik dikalangan
reformisme-modernisme ataupun di kalangan konservatisme-tradisionalisme.
Kesan negatif itu disebabkan karena memang belum banyak dunia ilmu
pengetahuan menyoroti peranan kaum pejabat agama ini bagi perkembangan
masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ormas muhammadiyah yang dengan ciri
khasnya sebagai gerakan pembaharu dan NU sebagai organisasi yang
mempertahankan tradisionalisme. Keduanya telah meyakinkan kepada kita
bahwa tujuan gerakan mereka adalah sama yakni tegaknya hukum Islam di
Indonesia. Ajaran yang dikembangkan kedua ormas tersebut terlihat dalam
pendekatan istimbat hukum. Muhammadiyah langsung menggali sumber aslinya
(al-Qur’an dan as-Sunah), sedangkan NU tidak mau langsung melainkan
berpegang kepada madzhab lewat kitab-kitab fiqih yang ada.
Karakteristik
yang dicetuskan oleh ormas NU adalah sebagai manifestasi dari
kebangkitan para ulama yang memimpin pesantren. Kebangkitan tersebut
digambarkan sebagai upaya para ulama bersama-sama dengan kelompok lain
mendorong munculnya kesadaran nasional dalam rangka perjuangan menuju
kemerdekaan Indonesia. Jadi ormas-ormas Islam itu lahir dengan tekad
para ulama' untuk memberikan jawaban kepada berbagai masalah yang muncul
di kalangan umat Islam, baik yang bersifat keagamaan, pendidikan, dan
politik yang berlingkup nasional maupun antar bangsa. Sikap ini
mendatangkan kesadaran-kesadaran baru, bahwa kekuasaan penjajah
terus-menerus dihadapkan kepada Islam.
2. Eksistensi Hukum Islam Pasca Kemerdekaan
Bila
disebut pengembangan, sudah jelas ada pokok yang dikembangkan. Benarkah
hukum Islam telah ada dalam kehidupan hukum kita? Menengok jalannya
sejarah, sesaat pemerintahan Hindia Belanda sebagai penguasa hukum,
politik hukum dikenal devide et impera, salah satu upayanya adalah
berlakunya hukum di tengah masyarakat sebagai hukum adat dan agama.
Melalui cara yang halus hukum Islam telah dipreteli untuk tidak
diterapkan secara formal.
Usaha untuk memiliki undang-undang atau
hukum formil umat Islam sebenarnya telah lama terlintas, seperti hukum
yang berkaitan dengan kekeluargaan (perkawinan, waris, hibah, wasiat),
dan hukum peradilan. Pada saat Indonesia merdeka, usaha tersebut dimulai
dengan SP Menteri Agama RI tanggal 1 Oktober 1950 No.B/2/4299 dibentuk
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum.
Usaha yang lain adalah
usaha-usaha diundangkannya UU perkawinan bagi umat Islam. Sesungguhnya
usaha ini sudah dirintis sejak masa penjajahan, di mana masyarakat Islam
menghendaki adanya hukum perkawinan yang tertulis. Dan akhirnya RUU
tentang perkawinan yang pembicaraannya memakan waktu kurang lebih 3
bulan disahkan oleh DPR pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai
Undang-Undang No.1 tahun 1974.
3. Perjuangan Umat Islam dalam Melahirkan Kompilasi Hukum Islam (Khi)
Sekalipun
dua undang-undang yang berwarna Islam (UU Perkawinan dan UUPA) telah
dimiliki bangsa Indonesia, namun bukan berarti bahwa perjuangan politik
umat Islam berhenti di situ juga. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
salah satu contoh hasil perjuangan umat Islam dalam rangka menegakkan
hukum Islam dan sekaligus sebagai kontribusi terhadap hukum nasional.
KHI
pada prinsipnya lahir karena ada beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, yaitu berdasarkan pengamatan dan pernyataan dari
praktek kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi jauh lebih dari itu ada
beberapa faktor yang penting adalah bahwa MA dan Depag ingin mewujudkan:
Pertama, tata hukum Islam yang positif dan sistematis. Kedua, tata
hukum Islam dimaksud minimal memuat hukum perkawinan, waris, hibah,
wasiat, dan wakaf.
Selain itu juga ada faktor pendorongnya
seperti:Pertama, keyakinan umat Islam, bahwa masalah hukum keluarga dan
warisan erat sekali dengan masalah aqidah. Kedua, banyak putusan PA yang
sangat fluktuatif dan disparitas. Ketiga, mempercepat taqrib baina
umah, hal ini dimaksudkan agar di antara umat Islam Indonesia saling ada
pendekatan paham, pengertian, dan pengalaman di bidang hukum Islam.
Keempat, menyingkirkan faham frivat affair, hal ini dikarenakan selama
ini ada kesalahpahaman umat Islam itu sendiri yang menganggap bahwa
hukum Islam adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Padahal sesungguhnya
syari’ah sebagai total sistem mempunyai sub sistem yaitu masalah
ubudiyah dan muamalah, dalam masalah muamalah inilah tidak bisa
dipisahkan antara pengaturan, penerapan, pengembangan, dan pelaksanaan
dari campur tangan penguasa.
Kegigihan umat Islam dalam merumuskan
KHI adalah merupakan terobosan ke jalur formal perundang-undangan.
Metode yang diterapkan lebih cenderung kompromistis, penekanan obyeknya
adalah nilai-nilai hukum adat yang berhadapan dengan syari’ah. Prinsip
penerapan hukum dalam KHI ini diibaratkan spiral, yang pada suatu saat
bisa dikembangkan dan bisa dipersempit, tetapi tetap mengacu kepada
dalil asal (nash). Landasan berikutnya adalah penerapan hukum
berorientasi maslahat.
B. Sejarah dan Eksistensi Peradilan Agama Sebagai Salah Satu Institusi Pelaksana Hukum Islam di Indonesia
Peradilan
agama sebagai suatu badan yang terkait dengan sistem kenegaraan
Indonesia sudah lahir sejak tanggal 1 Agustus 1882. namun demikian
Peradilan Agama dalam jangka waktu yang panjang sejak kelahirannya belum
mempunyai eksistensi sebagai institusi peradilan yang mandiri, karena
selalu dikontrol dengan ketat oleh pemerintah Belanda. Baru pada tahun
1989, yakni pada usianya yang ke-107 tahun, dengan disahkannya
Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, eksistensi
peradilan agama sebagai pelaksana hukum Islam di Indonesia memasuki era
kemandirian dengan kedudukan yang lebih mantap dan posisi yang lebih
sejajar dengan badan peradilan lainnya.
1. Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan Islam/ Sebelum Penjajahan
Pada
awalnya Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam, yakni beberapa abad sebelum kedatangan kaum
penjajah. Peradilan Agama, dalam bentuknya yang sederhana berupa tradisi
tahkim kepada pemuka agama, telah lama ada dalam masyarakat Indonesia
yakni sejak zaman kesultanan Islam. Perkembangan dan pertumbuhan
peradilan agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk, kemajemukan
itu bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat
agama dan ulama' bebas dari kalangan pesantren, dan bentuk-bentuk
integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan
berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi
dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan
masing-masing. Selain itu terlihat dalam susunan pengadilan dan
hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan
pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan
dan penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.
Hukum Islam tidak
hanya menggantikan hukum hindu, yang berwujud hukum Pradata, tetapi juga
memasukkan pengaruhnya ke dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat
pada umumnya. Pada masa sultan agung di Mataram (1613-1645), pengadilan
Pradata dirubah menjadi pengadilan Surambi, yang dilaksanakan di serambi
masjid. Ketika Amangkurat I menggantikan sultan agung pada tahun 1645.
pengadilan Pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama'
dalam pengadilan dan raja sendiri yang menjadi tampuk pimpinannya. Namun
dalam perkembangan berikutnya pengadilan Surambi masih menunjukkan
keberadaannya sampai dengan masa penjajahan belanda. Di aceh,
pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan
secara berjenjang. Di beberapa tempat, menurut Lev, seperti di
kalimantan selatan dan timur, sulawesi selatan dan tempat-tempat lain,
para hakim agama biasanya diangkat oleh penguasa setempat. Dengan
pelbagai ragam peradilan seeperti itu, menunjukkan posisinya yang sama
yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan.
Adapun
referensi yang dijadikan rujukan pada masa kesultanan Islam yakni pada
waktu itu mengarah kepada beberapa kitab-kitab fiqih dan menurut Mohamad
Atho Mudzhar, tidak hanya kitab fiqih saja tetapi ada sumber lainnya
seperti yang diutarakannya.
“There are at least four types of Islamic
legal literature: kutub al-fiqhiyyah (book of Islamic jurisprudence),
decrees of the Islamic courts, law and regulation adopted by Muslim
countries, and fatwas (legal pronouncement of jurisconsults). Each of
these has its own characteristics and deserves proper attention”.
2. Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan
Untuk
melegakan perasaan umat Islam dan supaya tidak terjadi pemberontakan,
dalam statua Batavia tahun 1642 disebutkan bahwa dalam hukum kewarisan
bagi bangsa Indonesia tetap diberlakukan hukum kewarisan Islam. VOC pada
tahun 1760 menerbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang diberlakukan di
pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat
Islam. Terbit pula kitab Mugharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang
yang memuat hukum-hukum Jawa, yang mencerminkan hukum Islam. Terbit pula
kitab Pepakem Cirebon yang berisikan kumpulan hukum-hukum Jawa yang
tua-tua. Dibuat pula peraturan untuk daerah Bone dan Goa atas prakarsa
B.J.Clootwijk. Demikian keadaan hukum Islam pada masa VOC yang
berlangsung dua abad lamanya, mulai tahun 1602 hingga 1800. hal ini
menandakan bahwa hukum Islam tetap survive pada zaman VOC.
Setelah
masa VOC berakhir, dan pemerintahan kolonial Belanda benar-benar
menguasai seluruh nusantara, hukum Islam mengalami pergeseran. Secara
berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa Daendels
(1808-1811) kedudukan hukum Islam belum mengalami pergeseran. Thomas
Raffles (1811-1816) bahkan masih mengukuhkan hukum Islam sebagai hukum
rakyat di Jawa. Tetapi setelah Inggris, berdasarkan konvensi London
tahun 1814, menyerahkan kembali kekuasaan pemerinahan kepada Belanda.
Oleh pemerintah kolonial Belanda dikeluarkan peraturan
perundang-undangan tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan,
pertanian, dan perdagangan di wilayah jajahanya di Asia. Hukum Islam
mulai mengalami pergeseran dan tata hukum hindia Belanda yang sangat
merugikan eksistensi hukum Islam.
Selama masa penjajahannya dan
sebelum lahirnya Staatblad nomor.152, pemerintah Belanda
sekurang-kurangnya telah mengakui keberadaan dan berjalannya peradilan
agama di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Hal ini didasarkan
pada bukti-bukti sejarah sebagai berikut:
a) Pada tahun 1808
dikeluarkan instruksi pemerintah Hindia Belanda kepada para Bupati, yang
isinya bahwa terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan
dilakukan gangguan-gangguan, pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk
memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan
kewarisan, dengan syarat tidak akan ada penyalahgunaan.
b) Pada
tahun 1820 melalui Staatblad nomor 20 pasal 13 ditentukan bahwa bupati
wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya para
pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan
orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka, dan yang
sejenis.
c) Pada tahun 1823, dengan resolusi gubernur jendral
tanggal 3 Juni 1823 nomor 12 diresmikan pengadilan agama di kota
Palembang.
d) Pada tahun 1835 melalui resolusi tanggal 7
Desember 1835 yang dimuat dalam Staatblad 1835 nomor 58, pemerintah pada
masa itu mengeluarkan penjelasan tentang pasal 13 Staatblad 1820 nomor
20.
e) Pada tahun 1854, melalui pasal 78 Regeeringstreeglement
(R.R) 1854 (Staatblad 1855 nomor 2) ditentukan batas kewenangan
peradilan agama, yaitu: (a) pengadilan agama tidak berwenang dalam
perkara pidana, (b) apabila menurut hukum-hukum agama atau adat lama
perkara itu harus diputuskan oleh mereka (para penghulu/ peradilan
agama).
Akhirnya pembaharuan tata hukum Hindia Belanda pun dilakukan,
rakyat disadarkan agar menerima hukum Hindia Belanda yang lebih baik
untuk menggantikan hukum asli mereka. Komisi yang diketuai Mr.Scholten
van Oud melihat rakyat beragama itu sangat kuat kesadaran hukum mereka.
Akhirnya secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan
peradilan yang terkait dengan sistem kenegaraan lahir/ diresmikan untuk
pertama kalinya di Indonesia yakni tepatnya di Jawa dan Madura pada
tanggal 1 Agustus 1882 dengan sebutan priesterraad (pasal 1)yang bisa
diartikan majelis pendeta, majelis padri, pengadilan pendeta atau
pengadilan padri, berdasarkan keputusan raja Belanda, yakni Raja Willem
III, tanggal 1 Januari 1882 nomor 24 yang dimuat dalam Staatblad nomor
152. mengenai wewenang pengadilan agama pada waktu itu mencakup
hukum-hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Dengan
didirikannya pengadilan agama tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa
hukum Islam mendapat pengukuhan dari pemerintah Hindia Belanda.
Dengan
keberadaan lembaga semisal peradilan agama ini, pemerintah Belanda
merasa bahwa hukum Islam benar-benar telah berlaku di tengah-tengah
masyarakat muslim Indonesia, sehingga berlaku teori Receptio in Complexu
yang dikemukakan Van den Berg dengan teorinya bahwa orang-orang muslim
Indonesia menerima dan memberlakukan syari’at Islam secara keseluruhan.
Dalam
perjalanan sejarahnya, kedudukan peradilan agama diperlemah oleh
pemerintah Hindia Belanda dengan diberlakukannya teori Receptie yang
dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje yang hanya memberlakukan hukum
Islam apabila telah menjadi bagian hukum adat. Jadi hukum Islam baru
berlaku jika sudah diterima oleh hukum adat
Menurut Aqib Suminto,
Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam
sebagai “kekuatan politik”. Dalam hal inidia membagi masalah Islam atas
tiga pilihan. Pertama, bidang agama murni atau ibadah, kedua, bidang
kemasyarakatan, dan ketiga, bidang politik. Masing-masing bidang
menuntut alternatif pemecahan yang berbeda-beda. Resep inilah yang
kemudian dikenal sebagai Islam politiek,atau kebijaksanaan pemerintah
kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Dalam bidang
ibadah, pemerintah kolonial memberikan kebebasan beribadah kepada umat
Islam selama tidak menggangu kekuasaan Belanda. Dalam bidang
kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
dengan cara menggalakkan rakyat supaya mendekati Belanda. Tetapi dalam
bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan
membawa rakyat pada fanatisme dan pan Islam.
Pendapat Prof. Snouck
Hurgronje tersebut diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia
Belanda sehingga pemerintah Belanda mulai melakukan perubahan
undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia, misalnya
Regeeringareglement (R.R) menjadi Indische Staatsregeling (I.S). hal ini
tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam
I.S yang diundangkan dalam Stbl (Staatblad).1929:212, hukum Islam
dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS
tahun 1929 itu berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara
sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonansi.”
Pada pertengahan tahun 1937 pemerintah
hindia Belanda mengumumkan gagasan untuk memindahkan wewenang mengatur
waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri. Apa yang menjadi
kompetensi pengadilan agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan kepada
pengadilan negeri. Dan dengan Stbl. 1937:116 dicabutlah wewenang
pengadilan agama itu dengan alasan hukum waris Islam belum diterima
sepenuhnya oleh hukum adat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh teori
resepsi Sejak waktu itu pengadilan agama hanyalah mengenai soal
perkawinan dan perceraian saja.
Pengalihan wewenang tersebut dikritik
oleh Hazairin dengan menyebut teori itu sebagai teori iblis, karena
menurut beliau, pendapat atau teori itu “membujuk” orang Islam untuk
tidak mentaati al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang memuat hukum
kewarisan yang wajib dilaksanakan oleh orang Islam.
Demikian halnya,
penataan peradilan agama pada masa peralihan dari pemerintah Belanda ke
jepang, sejalan dengan politik Islam yang ditetapkan. Jepang yang sedang
menghadapi perang dengan sekutu, menerapkan politik yang simpatik
terhadap umat Islam Indonesia.
Berkenaan dengan penerapan politik itu
tinngkat campur tangan terhadap peradilan agama amat rendah, sehingga
memungkinkan adanya usaha memulihkan kekuasaan pengadilan, khususnya
mengenai masalah kewarisan dan perwakafan melalui Sanyo Kaigi (dewan
pertimbangan). Usaha tersebut mengalami kegagalan karena ditentang oleh
golongan nasionalis. Konflik antara golongan Islam dengan nasionalis itu
secara makro berpangkal kepada konsep hubungan antara agama dengan
negara, yang berpangkal pada orientasi kebudayaan mereka. Di satu pihak
golongan Islam menghendaki terbentuknya “negara Islam”, sedangkan di
pihak lain golongan nasionalis menghendaki “negara netral” dari agama.
Pertentangan
di antara kedua golongan tersebut tercermin dalam pandangan dua tokoh
nasional di dalam Dewan Sanyo, sebagaimana digambarkan oleh Lev.
Abikusno, golongan Islam, berpandangan bahwa pengadilan agama harus
tetap ada dan kewenangannya di bidang kewarisan harus dipulihkan. Di
samping itu, pengadilan harus diperkuat oleh tenaga yang terdidik dan
digaji oleh pemerintah. Sebaliknya, Supomo, golongan nasionalis,
berpandangan bahwa negara yang sekuler harus bersifat modern dan tidak
perlu berdasarkan Islam. Apabila pengadilan agama tidak dapat
dihapuskan, maka jabatan penghulu dalam instansi-instansi sipil
dihapuskan.
4. Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan
Sesudah
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, langkah pemerintah Indonesia
adalah mengalihkan pembinaan peradilan agama dari departemen kehakiman
ke departemen agama melalui PP nomor 5/SD/1946. Pada tahun 1948 keluar
UU No.190 tahun 1948 yang masa berlakunya ditentukan oleh menteri
kehakiman. UU ini memasukkan pengadilan agama ke dalam pengadilan umum.
Namun penetapan menteri kehakiman tentang berlakunya UU tersebut tidak
pernah keluar dan pengadilan agama berjalan sebagaimana biasa. Pada
tahun 1957 pemerintah mengatur pembentukan pengadilan agama di luar jawa
dan kalimantan selatan melalui peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957.
wewenang pengadilan agama di luar jawa, madura, dan kalimantan selatan
itu meliputi perkara-perkara (1) nikah, (2) talak (3)rujuk (4)fasakh
(5)nafkah (6)maskawin (7)tempat kediaman (8)mut’ah (9)hadanah
(10)perkara waris-mewaris (11)wakaf (12)hibbah (13)sedekah, dan (14)bayt
al-mal.
Sejak tahun 1958 pemerintah membentuk pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama di berbagai tempat yang memerlukan. Pada tahun
1964 pemerintah mengeluarkan UU nomor 19 tahun 1964 tentang pokok
keuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 UUD 1945. UU ini
menyatakan bahwa di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman di samping pengadilan umum adalah pengadilan militer dan
pengadilan tata usaha negara. Pada tahun 1970 UU nomor 19 tahun 1964
tersebut diganti dengan UU nomor 14 tahun 1970 yang berisi
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman di mana eksistensi
peradilan agama tetap dipertahankan seperti semula.
Pada tahun 1974
keluarlah UU nomor 1 tentang perkawinan. Pasal 63 ayat (1) UU ini
memberi wewenang yang lebih besar kepada pengadilan agama untuk
menyelesaikan kasus-kasus perkawinan. Pada tahun 1974 mahkamah agung
mengeluarkan peraturan yang memperkuat kedudukan pengadilan agama, yaitu
dengan diberikannya hak untuk mengajukan kasasi ke mahkamah agung.
Kenyataannya, seluruh keputusan pengadilan agama masih memerlukan
pengukuhan eksekusi dari pengadilan umum, dan pengadilan umum bahkan
dapat meninjau keputusan pengadilan agama tersebut. Pada tahun 1989,
dengan dikeluarkannya UU nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan agama
(UUPA) kedudukan dan kekuasaan pengadilan agama benar-benar sama dan
setingkat dengan tiga pengadilan lainnya. Tujuan utama diundangkannya
UUPA ini adalah penataan organisasi dan tata kerja pengadilan agama agar
menjadi pengadilan yang sejajar atau setingkat dengan
pengadilan-pengadilan lainnya.
Wewenang pengadilan agama di seluruh
Indonesia diatur dalam bab III pasal 49-53 UUPA, yakni memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara umat Islam yang berkaitan
dengan perkawinan, kewarisan, wasiat, wakaf, dan sadaqah.
C. Prospek/ Masa Depan Hukum Islam di Indonesia
Sistem
hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan sejarah bersifat
pluralis (majemuk), karena Indonesia merupakan negara yang plural baik
dari sisi ras, suku, budaya, maupun agama. Di samping itu, Indonesia
memiliki sejarah pernah dijajah oleh bangsa lain yaitu Belanda, Jepang,
Portugis, dan Inggris. Dari keempat negara penjajah tersebut yang paling
banyak pengaruhnya dalam hal hukum yang berlaku di Indonesia adalah
belanda. Dari realitas yang demikian, ada tiga sistem hukum yang berlaku
di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem
hukum barat. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada
waktu yang berlainan. Dan dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia
di kemudian hari, ketiga sistem hukum itu menjadi bahan baku hukum
nasional.
Berbicara mengenai masa depan hukum Islam di Indonesia,
paling tidak perlu mengadakan pengamatan terhadap tiga hal, yaitu:
karakter hukum Islam, politik hukum era reformasi, dan kesadaran hukum
masyarakat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya. Ketiga hal tersebut
menjadi variabel penting dalam membahas tentang masa depan hukum Islam
di Indonesia. Oleh karenanya tiga hal itu perlu dibahas satu persatu
secara agak rinci.
1. Karakter Hukum Islam
Hukum Islam adalah
hukum Allah yang diturunkan melalui wahyu kepada nabi Muhammad untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia, sebagai pedoman hidup demi
kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya hukum
Islam bersifat kekal dan universal, disamping elastis. Elastis di sini
berarti bahwa hukum Islam dapat mengakomodasi perkembangan zaman.
Institusi yang menjadikan hukum Islam sangat dinamis tersebut adalah
ijtihad. Ijtihad merupakan bagian ajaran Islam yang sangat penting,
bahkan ia merupakan salah satu sumber hukum Islam.
Ijtihad merupakan
jaminan pasti bahwa hukum Islam akan senantiasa bersikap antisipatif
dan akomodatif terhadap perkembangan zaman. Bisa dibilang ijtihad
merupakan principle of movement dalam Islam. Pemberdayaan terhadap
ijtihad harus dilakukan, antara lain dengan pengembangan ijtihad
kolektif untuk memperoleh pendekatan yang multisektoral dengan tanpa
mengabaikan azas-azas utama hukum Islam.
Lebih dari semua itu, suatu
hal yang harus dipertimbangkan yaitu sifat hukum Islam yang memang
senantiasa sesuai dengan fitrah dan akal sehat manusia. Ini merupakan
keistimewaan tersendiri yang menjadikan hukum Islam senantiasa relevan
dengan masyarakat manusia di manapun dan kapan pun.
2. Politik Hukum Era Reformasi
Setelah
rezim orde baru jatuh, bangkitlah era reformasi. Secara teoritis
kondisi Indonesia memasuki era demokratisasi, meskipun kini masaih dalam
masa transisi dan sering tampak masih dalam batas retorika. Kondisi
sosial politik Indonesia masa ini memang masih belum stabil. Indonesia
sedang memasuki masa transisi menuju cita-cita reformasi yang sedang
diperjuangkan.
Dalam pemerintahan sekarang ini, posisi-posisi dan
jabatan-jabatan penting dan strategis diduduki oleh orang yang beragama
Islam. Kendatipun realitas ini bukan berarti jaminan dan menjanjikan
bagi terakmodasinya seluruh hasrat umat Islam, namun paling tidak
realitas sosial politik semacam ini memberikan peluang dan harapan yang
besar bagi umat Islam untuk didengarnya suara, aspirasi, dan hasrat
sosialnya sebagai pengejawantahan dari ajaran agamanya. Kesempatan dan
peluang yang sedemikian menjanjikan akan sia-sia bila tidak direspon
secara maksimal oleh umat Islam.
Dalam era reformasi ini telah
diberlakukan beberapa peraturan yang mengakomodir kepentingan umat
Islam, seperti diundangkannya UU zakat dan haji pada tahun 1999.
diberlakukannya syari’at Islam di Aceh. Dimasukkannya materi sebagai
sistem ekonomi Islam dalam UU perbankkan, dan lain-lain. Ini semua
menunjukkan bahwa pemerintah bersikap akomodatif terhadap kepentingan
umat Islam, sebagai realitas politik hukum yang digariskan dalam GBHN
1999, karena kekuatan sosial politik umat Islam dan potensi
kontribusinya bagi masa depan Indonesia memang nyata.
3. Kesadaran Hukum Umat Islam Mengamalkan Ajaran Agamanya
Kesadaran
umat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya, khususnya dalamkaitannya
dengan hukum Islam sangat berbeda-beda, tergantung penerimaan dan
penghayatan terhadapa ajaran Islam. Di Indonesia terdapat golongan yang
dikenal kelompok abangan yaitu golongan umat Islam yang penghayatan dan
pengamalannya serta kesadarannya terhadap hukum Islam sangat mengambang.
Di
sisi lain ada kelompok taat, yaitu kelompok yang sadar sebagai pengikut
suatu agama, mereka berusaha untuk mengetahui dan mendalami ajaran
agamanya, dan berusaha pula semaksimal mungkin mengamalkannya. Dengan
kata lain kesadaran beragama kelompok ini sangat baik. Bahkan
akhir-akhir ini terdapat fenomena yang sangat menggembirakan yaitu
semakin kentaranya antusiasme umat Islam termasuk para cendekiawan,
pengusaha, para artis, dan para birokrat untuk melaksanakan ajaran
agamanya.
Melihat beberapa aspek yang telah dikemukakan di atas,
cukup beralasanlah kalau dikatakan bahwa umat Islam akan berpeluang
semakin besar dalam mengegolkan berbagai cita-cita hukum yang
diyakininya. Apalagi di era reformasi saaat ini, dalam kerangka
kebebasan dan demokratisasi, perjuangan membumikan hukum Islam di
Indonesia adalah suatu usaha yang sah. Bahkan optimisme akan prospek
penerapan hukum Islam di Indonesia akan semakin tinggi, bila mencermati
faktor-faktor berikut:
a) Umat Islam adalah penduduk mayoritas.
b)
Semakin meningkatnya tingkat pendidikan umat Islam, dengan
indikasinya banyak anak muslim yang telah menyelesaikan studi S1, S2,
dan bahkan S3 dan tidak sedikit dari mereka memiliki concern yang tinggi
terhadap Islam.
c) Sudah semakin menurunnya sikap Islam phobia dari orang-orang non-muslim.
d) Secara yuridis, upaya penerapan hukum Islam di Indonesia dijamin oleh konstitusi.