Oleh : Oktavio Nugrayasa, Kepala Bidang Ketahanan Pangan dan PDT Setkab
Perberasan
hingga saat ini masih merupakan persoalan yang cukup rumit dan belum
dapat terselesaikan secara tuntas. Padahal Indonesia pernah tercatat dan
dikenang dunia atas pencapaian swasembada beras sekitar 3 kali periode, yaitu pada tahun 1984, 2004, dan 2008.
Saat ini, Indonesia masuk daftar panjang sebagai salah satu negara yang mengimpor beras, bahkan dilakukan sejak era reformasi. Selama 1998-2003, Indonesia dan Filipina bergantian menempati negara pengimpor beras terbesar .
Dalam grand strategi
pembangunan nasional, acapkali persoalan perberasan menjadi tidak
sederhana. Apalagi, beras juga merupakan komoditas yang bernilai
politik. Berikut beberapa persoalan dan upaya mendasar perberasan
nasional.
Pertama: Politik Beras di Masa Lalu
Kampaye
menempatkan beras sebagai komoditas superior yang dicitrakan sebagai
indikator kesejahteraan dan kemajuan telah berimplikasi pada tergusurnya
pangan-pangan lokal alternatif seperti singkong, jagung, pisang, sagu
dan ubi-ubian yang berakibat pada tingginya laju permintaan dan
ketergantungan terhadap beras.
Kedua: Tingginya Tingkat Konsumsi Beras
Orang
Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya
mencapai 139 kg per kapita, Jepang 60 kg per kapita, China 70 kg per
kapita, Malaysia 80 kg per kapita, Thailand 90 kg per kapita. Rata-rata
orang Asia mengkonsumsi beras sebesar 65–70 kg per kapita dan konsumsi
beras global pada tahun 2007 tercacat sebanyak 64 kg per kapita.
Ketiga: Laju Konversi Areal Persawahan Tinggi
Per
tahun lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 100.000
hektare,sementara pencetakan areal persawahan baru hanya sebesar 40.000
hektar.
Keempat: Rendahnya Penggunaan Teknologi Pasca Panen
Rendahnya penggunaan teknologi pasca panen telah mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan (losses)
saat panen. Besarannya bisa mencapai 10,82% atau setara dengan 11 juta
ton gabah. Tingkat kehilangan ini mulai dapat terjadi dari memanen
dengan menggunakan sabit, perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai
penggilingan.
Kelima: Kerusakan Irigasi Teknis
Tingkat
kerusakan bangunan irigasi teknis areal persawahan, saat ini telah
mencapai hampir 50% baik primer, sekunder dan tersier. Di era otonomi
daerah, laju kerusakan infrastruktur dalam sistem produksi padi semakin
tidak terkendali. Hal ini menjadi persoalan sendiri karena daerah-daerah
kerapkali masih berharap dan bergantung kepada pemerintah pusat baik
untuk operasional ataupun pemeliharaannya. Sawah yang semula beririgasi
teknis, kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali
setahun. Sawah sejenis ini sangat rentan terhadap kekeringan dan musim
kemarau, sehingga secara perlahan berubah status menjadi lahan kering,
tidak subur, dan bahkan tidak produktif.
Keenam: Impor Beras
Indonesia
sebenarnya merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah
China dan India, jauh melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam.
Namun karena tingginya konsumsi serta besarnya jumlah penduduk,
Indonesia menjadi importir terbesar di dunia. Hal ini menjadi rentan
karena produksi beras dunia yang diperdagangkan hanya 6–7%. Impor selalu
menjadi pilihan terakhir dan langkah mudah untuk memenuhi stok pangan
nasional. Padahal selain ini bisa menjadi tekanan yang cukup serius
sebagai bentuk perhatian bagi para petani beras dalam negeri.
Mewujudkan Swasembada Beras
Persoalan di atas menuntut langkah-langkah ekstra serta komitmen yang kuat dan nyata dari semua pihak terkait untuk mewujudkan swasembada beras, berupa:
1. Melakukan Pencetakan Areal Persawahan Baru.
Untuk dapat mewujudkan surplus 10 juta ton beras mulai 2014 diperlukan
minimal pencetakan areal persawahan baru sebesar 1 juta hektar. Langkah
ini sangat dimungkinkan mengingat ketersediaan lahan yang sangat
memadai;
2. Segera Merealisasikan Food Estate
Merealisasikan food estate
secepatnya yang dimotori langsung oleh pemerintah melalui BUMN-BUMN
terkait. Langkah ini menjadi wujud nyata turun tangannya negara dalam
penguasaan dan pengelolaan sumber daya dan komoditas yang berkaitan
langsung dengan hajat hidup orang banyak;
3. Mempromosikan dan Mengampanyekan Diversifikasi Pangan.
Kegiatan
ini mesti dilaksanakan secara masif dan intensif dalam bentuk
iklan-iklan atau program-program yang komunikatif dibarengi pula
inovasi-inovasi dalam memproduksi makanan-makanan alternatif yang
berbahan baku komoditas pangan lokal lain;
4. Revitalisasi Irigasi Teknis serta Pembangunan Bendungan Baru.
Dikarenakan
belanja modal pemerintah yang sangat mahal dan juga terbatas, maka
diperlukan upaya sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Selain itu, mengaktifkan dan mengefektifkan kembali kelembagaan
lain yang berkaitan erat dengan pertanian seperti Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A) di Jawa Barat;
5. Mengefektifkan Perlindungan Lahan Abadi Untuk Persawahan.
Diperlukan
efektifitas kegiatan perlindungan lahan abadi areal persawahan. Untuk
itu diperlukan komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam
melaksanakan sekian peraturan perundangan yang telah dimiliki. Pada
tingkat strategis, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
Penjabaran
UU 41/2009 ini pun sebenarnya sudah sangat komprehensif dengan
dibuatnya beberapa peraturan pemerintah (PP), yaitu: PP 1/2011 tentang
Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP
25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
serta PP 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan;
6. Menekan Pengalihfungsian Lahan Potensial dan Produktif.
Dalam
rangka menekan pembiaran bagi lahan produktif dan juga mengurangi alih
fungsi lahan potensial, dapat dilalukan cara misalnya, merumuskan pajak
tanah progresif, memberikan sanksi tegas bagi tanah terlantar yang
disengaja, serta mengembangkan efisiensi atau hemat lahan untuk
aktivitas industri, perumahan, dan juga untuk perdagangan;
7. Arah Kebijakan Zero Impor.
Dengan
arah Kebijakan yang zero importasi akan mendorong optimalisasi dan
peningkatan produksi serta mengefektifkan peran dan fungsi Bulog untuk
menyerap hasil produksi petani. Memang sering terjadi polemik diantara
beberapa pemangku kebijakan tentang hasil produksi, namun saya kira
hakim yang paling objektif adalah harga. Jika harga beras terlalu tinggi
melampaui harga kenaikan yang wajar, merupakan indikasi kuat adanya
kelangkaan barang.
Namun,
yang terpenting adalah pemerintah harus terus bekerja keras untuk
mewujudkan swasembada beras, Bulog pun harus meningkatkan peran dan
kinerjanya sebagai lembaga penyangga.
Mewujudkan
swasembada beras menjadi keharusan karena swasembada adalah yang
menjadi pilar kedaulatan pangan. Berdaulat pangan tidak hanya berarti
bahwa setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, mutu yang
layak, aman dikonsumsi, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Namun, lebih jauh dari itu berdaulat pangan juga berarti memiliki
kemandirian dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup dan kualitas hidup petani
pangan sebagai penghasil.
Semoga
kita dapat menggapai harapan bukan menjadi kenangan lagi untuk dapat
swasembada beras, jika perlu terus dipertahankan keberadaannya.