VALUTA ASING


A. Pengertian
Pertukaran valuta asing adalah suatu kegiatan memperdagangkan mata uang dari negara-negara yang berbeda. Berbagai mata uang tersebut mengambil bentuk sebagai uang di dalam suatu negara. Uang masing-masing negara memiliki harga yang diukur oleh uang negara lain. Hal inilah yang disebut nilai tukar (exchange rate). Apabila sesuatu barang ditukar dengan barang lain, tentu di dalamnya terdapat perbandingan nilai tukar antara keduanya. Nilai tukar ini merupakan harga di dalam pertukaran tersebut.
Semua transaksi valuta asing yang berlangsung seketika atau secara langsung, di mana kedua belah pihak sepakat untuk saling menukarkan simpanan bank mereka serta melaksanakan secepatnya disebut dengan kurs spot, sedangkan kesepakatannya disebut transaksi spot. Istilah seketika atau spot ini lazimnya baru dilaksanakan sampai dua hari setelah tercapainya kesepakatan. Kelambatan ini terjadi karena kebanyakan transaksi bank perlu waktu dua hari guna melaksanakan instrumen pembayaran (misalnya berupa cek).
Beberapa kesepakatan valuta asing secara khusus menetapkan suatu tanggal nilai lebih dari dua hari, bisa 30 hari, 90 hari, 180 hari, atau bahkan beberapa tahun. Kurs yang menjadi dasar transaksi semacam ini disebut kurs berjangka (forward exchange rates). Dengan demikian transaksi ini dilakukan di pasar berjangka, yaitu pasar di mana transaksi jual beli terjadi dengan harga yang disetujui pada saat transaksi dilakukan, tetapi penyerahan barang dilakukan kemudian hari.

B. Fungsi Pasar Valuta Asing
Pasar valuta asing mempunyai beberapa fungsi pokok dalam membantu kelancaran lalu lintas pembayaran internasional :
a). Mempermudah penukaran valuta asing serta pemindahan dana dari satu negara ke negara lain. Proses penukaran atau pemindahan dana ini dapat dilakukan dengan sistem “clearing”. Pasar valuta asing memberikan jasa kliring bagi para pengusaha atau individu. Para turis biasanya menemukan pasar ini di banyak bandar udara., di mana tempat penukaran mata uang asing yang dilengkapi dengan papan petunjuk tingkat nilai tukar yang sedang berlaku.
b). Memungkinkan dilakukannya “hedging”. Seorang pedagang melakukan hedging apabila ia pada saat yang sama melalukan transaksi jual dan beli valuta asing di pasar yang berbeda, untuk menghilangkan/mengurangi resiko kerugian akibat perubahan kurs. Hedging dapat dilakukan di pasar berjangka (forward market). Sebagai contoh : seorang importir dari Indonesia membeli mobil dari USA seharga US$7,000 dengan pembayaran 4 bulan yang akan datang. Kurs pada saat itu, misalnya US$ 1 = Rp.9.000, sehingga harga mobil tersebut dalam mata uang rupiah adalah Rp.63.000.000. Apabila kurs berubah menjadi US$ 1 = Rp.9.300, maka harga mobil menjadi Rp.65.100.000, dengan demikian importir harus membayar lebih banyak. Untuk menghindari kerugian karena harga mobil yang meningkat, maka importir dapat melakukan hedging di pasar berjangka. Caranya, importir menghubungi bank di Indonesia untuk membeli mobil seharga US$7,000 dengan penyerahan 4 bulan yang akan datang dengan kurs yang disetujui saat itu US$ 1 = Rp.9,000. Kurs tersebut disebut kurs berjangka (forward exchange rate). Perbedaan kurs berjangka dengan kurs spot menggambarkan adanya perbedaan tingkat bunga di Indonesia dan USA.
Selanjutnya bank di Indonesia yang dihubungi importir akan berusaha membeli US$ pada pasar spot dan kemudian menyimpannya selama 4 bulan di USA. Atas tindakan bank tersebut, ia (bank di Indonesia) akan memperoleh bunga dari bank di USA. Apabila tingkat bunga di USA lebih rendah dari pada di Indonesia, importir harus membayar perbedaannya. Sebaliknya, apabila tingkat bunga di USA lebih tinggi, maka perbedaannya oleh bank tersebut diberikan kepada importir. Misalnya, importir memerlukan US$7,000 untuk 4 bulan dengan kurs spot US$ 1 = Rp.9.000. Jika tingkat bunga simpanan di USA 4 % dan di Indonesia 5 %, maka bank di Indonesia yang menjual US$7,000 forward kepada importir akan meminta Rp.63.000.000 (kurs spot) ditambah dengan 1 % kerugian tingkat bunga karena uang dollar disimpan di USA. Total harga US$7,000 adalah Rp.63.000.000 + Rp.630.000 = Rp.63.630.000. Kurs forwardnya menjadi US$ 1 = 63.630.000/7.000 = Rp.9.090, yakni 1 % discount terhadap kurs spot (US$ = Rp.9.300).
Sebaliknya, apabila tingkat bunga di USA 4 % dan di Indonesia 3 %, maka harga total US$7,000 forward akan menjadi = Rp.63.000.000 – Rp.630.000 = Rp.62.370.000. Kurs forwardnya menjadi US$ 1 = 62.370.000/7.000 = Rp.8.910, yakni 1 % premium terhadap kurs spot ( US$ 1 = Rp.9.300).
c). Dapat melakukan arbitrage. Ratio antara kurs forward dengan kurs spot menggambarkan perbedaan dalam tingkat bunga. Apabila terdapat perbedaan, tindakan arbitrage (tindakan menjual/membeli valuta asing di negara yang kursnya tinggi/rendah untuk memperoleh keuntungan karena perbedaan kurs di kedua negara akan menghilangkan perbedaan tersebut. Tindakan arbitrage akan cenderung menyamakan kurs valuta asing di berbagai negara. Tindakan arbitrage akan berhenti apabila keuntungan yang diperoleh karena adanya perbedaan tingkat bunga diimbangi dengan kerugian yang sama dari pasar valuta asing jangka (forward market). Hal ini biasa disebur dengan “interest parity”.

jika positif forward premium, dan jika negatif forwad discount
ra = kurs spot Rp/US$
rf = kurs forward Rp/US$
ia = tingkat bunga di USA 3 bulan
ie = tingkat bunga di Indonesia 3 bulan
Misalnya uang US$ 1 diinvestasikan di USA selama 3 bulan dengan tingkat bunga di USA 4 % dan kurs US$ = Rp.9.000 akan menghasilkan :
US$1 (1 + ia) = US$1 (1.04) = US$1.04 dalam rupiah = Rp.9.360.
 Seandainya uang tersebut diinvestasikan di Indonesia dengan tingkat bunga 5 % selama 3 bulan, maka terlebih dahulu harus ditukar dengan rupiah di pasar spot, sehingga hasil yang akan diperoleh sebesar
Hasil tersebut terlebih dahulu ditukar dengan US$ di pasar jangka untuk membandingkan dengan hasil investasi yang diperoleh di USA, yaitu dengan cara :maka modal jangka pendek akan mengalir dari USA ke Indonesia.
Sebaliknya, apabila
 maka modal jangka pendek akan mengalir dari Indonesia ke USA.
Keadaan keseimbangan akan tercapai apabila :

 di mana p adalah forward premium (jika positif) dan forward discount (jika negatif), maka persamaan di atas dapat dituliskan dengan :
Persamaan di atas dapat diringkas menjadi :
Tindakan arbitrage dapat digambarkan dengan lebih sederhana, yaitu misalnya harga dollar dalam rupiah yang dinyatakan dengan kurs Rp/US$ adalah US$1 = Rp.9.000 yang sedang berlaku di Jakarta, sedangkan kurs yang berlaku di New York misalnya US$1 = Rp.9.200, maka pelaku arbitrage akan membeli dollar di Jakarta dengan kurs US1 = Rp.9.000 dan segera menjualnya kembali di New York dengan kurs US$1 = Rp.9.200, sehingga dalam waktu singkat pelaku arbitrage memperoleh keuntungan sebesar Rp.200. Dalam waktu bersamaan permintaan rupiah di New York meningkat, sehingga akan menguatkan nilai tukar mata uang rupiah. Kegiatan arbitrage tersebut pada akhirnya akan menyamakan kurs di Jakarta dan New York. Hal tersebut dapat terjadi karena karena kuatnya permintaan dollar USA di Jakarta, sehingga nilai tukar rupiah/US$ akan naik di atas Rp.9.000, begitu pula permintaan rupiah yang menguat di New York akan menguatkan rupiah di New York hingga di bawah Rp.9.200. Kondisi tersebut akhirnya akan menyamakan kurs di kedua tempat. Jika kurs di kedua tempat sama, maka kegiatan arbitrage akan terhenti, karena pelaku arbitrage tidak lagi memperoleh keuntungan atas tindakannya.

C. Sistem Kurs Valuta Asing
1. Sistem Kurs yang Berubah-ubah
Di dalam pasar bebas perubahan kurs tergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan transaksi pembayaran ke luar negeri (impor). Jadi permintaan valuta asing bersumber dari transaksi debet dalam neraca pembayaran internasional. Penawaran valuta asing berasal dari eksportir, yakni dari transaksi kredit neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan kuat apabila transaksi autonomous kredit lebih besar dari pada transaksi autonomous debet (surplus neraca pembayaran). Transaksi autonomous kredit dan debet dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam maupun luar negeri, termasuk harga, pendapatan dan tingkat bunga.
Makin tinggi tingkat pertumbuhan pendapatan (relatif terhadap negara lain) makin besar kemungkinan untuk mengimpor, sehingga makin besar pula permintaan terhadap valuta asing yang mengakibatkan naiknya kurs mata uang asing (mata uang domestik turun). Begitu pula dengan kenaikan harga (inflasi) akan menyebabkan impor naik yang mengakibatkan naiknya kurs mata uang asing. Kenaikan tingkat bunga dalam negeri cenderung menarik modal masuk dari luar negeri, sehingga kurs valuta asing akan turun (mata uang domestik naik).
Berdasarkan uraian di atas, maka semua kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter yang berkaitan dengan pendapatan, harga, dan tingkat bunga secara tidak langsung akan mempengaruhi kurs.
Di samping faktor-faktor ekonomi tersebut di atas, faktor-faktor non ekonomi dapat pula mempengaruhi kurs, seperti faktor politik dan psykologis. Misalnya, kepanikan yang terjadi di dalam negeri akan menyebabkan larinya dana ke luar negeri, sehingga kurs valuta asing akan naik.
Semua faktor yang disebutkan di atas akan mempengaruhi pergeseran kurva permintaan dan penawaran sebagaimana digambarkan berikut ini.
Gambar di atas memperlihatkan bahwa pada kurs US$1 = Rp.2000 permintaan terhadap US$ sebanyak E2, permintaan US$ menurun menjadi E1 pada kurs US$1 = Rp.6000 dan Eo pada kurs US$1 = Rp.10000 (kondisi di mana terjadi pergerakan sepanjang kurva permintaan). Selanjutnya pergeseran kurav permintaan dari Do ke D1 menunjukkan bahwa walaupun kurs meningkatkan jumlah permintaan US$ tetap mengalami peningkatan yang disebabkan misalnya oleh kenaikan pengeluaran pemerintah, kenaikan jumlah uang beredar, aliran modal keluar karena adanya kepanikan di dalam negeri.

2. Sistem Kurs Stabil
Pada dasarnya kurs stabil dapat timbul secara :
a) Aktif : yakni pemerintah menyediakan dana untuk tujuan stabilisasi kurs (stablization funds).
b) Pasif : yakni di dalam suatu negara yang menggunakan sistem standar emas.

1). Stabilisasi Kurs
Kegiatan stabilisasi kurs dapat dijalankan dengan cara sebagai berikut : apabila ada tendensi kurs valuta asing akan turun, maka pemerintah membeli valuta asing di pasar. Dengan adanya tambahan permintaan valuta asing di pasar, maka tendensi turunya kurs valuta asing dapat dicegah. Sebaliknya, jika kurs valuta asing bertendensi untuk naik, maka pemerintah menjual valutra asing di pasar, sehingga penawaran valuta asing bertambah dan kenaikan kurs dapat dicegah. Misalnya, Bank Indonesia menghendaki kurs stabil pada tingkat US$1 = Rp.8.000. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan gambar berikut di bawah ini.

Pada gambar VI.2a dimisalkan ekspor meningkat, sehingga penwaran valuta asing (US$) bergeser ke kanan dari S1 ke S2. Jika permintaan tetap pada D1, kurs cenderung menjadi US$1 = Rp.7.700. Untuk mencegah turunnya kurs, pemerintah membeli US$ di pasar bebas, sehingga permintaan akan naik yang ditunjukkan oleh pergeseran dari D1 ke D2. Tindakan pemerintah tersebut akan terus dilakukan hingga kurs kembali ke US$1 = Rp.8.000.
Selanjutnya pada gambar VI.2b dimisalkan terjadi kenaikan pendapatan atau inflasi di dalam negeri, di mana impor meningkat. Kenaikan impor tersebut mengakibatkan meningkatnya permintaan valuta asing (ditunjukkan oleh pergeseran kurva permintaan dari D1 ke D2). Jika penawarannya tetap, maka kurs akan naik menjadi US$1 = Rp.8.300. Untuk menurunkan kembali kurs pada tingkat US$1 = Rp.8.000, maka pemerintah menjual US$ di pasar bebas. Penjualan ini akan terus dilakukan hingga kurva penawaran bergeser dari S1 ke S2.

2). Standar Emas
Suatu negara dikatakan menganut standar emas apabila :
Nilai mata uangnya dijamin dengan nilai seberat emas tertentu
Setiap orang boleh membuat serta melebur uang emas.
Pemerintah sanggup membeli atau menjual emas dalam jumlah yang tidak terbatas pada harga tertentu (yang sudah ditetapkan pemerintah).
Dalam sistem standar emas kurs mata uang suatu negara terhadap negara lain ditentukan dengan dasar emas. Misalnya, USA menetapkan bahwa 1 gram emas = US$10, dan Indonesia menetapkan bahwa 1 gram emas = Rp.50.000, maka kurs antara US$ dan Rp adalah U$1 = Rp.5.000. Kurs ini akan stabil selama syarat-syarat di atas dipenuhi dan lalu lintas emas berlangsung secara bebas.

3. Sistem Kurs Pengawasan Devisa (exchange Control)
Dalam sisitem ini pemerintah memonopoli seluruh transaksi valuta asing. Tujuannnya adalah untuk mencegah adanya aliran modal keluar. Menghadapi jumlah valuta asing yang relatif sedikit dibandingkan dengan permintaannya, pemerintah perlu mengadakan alokasi di dalam penggunaannya. Sistem kurs ini dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
Gambar VI.3 : Sistem Kurs dalam Pengawasan Devisa
Jika pasar valuta asing adalah bebas, maka kurs yang akan terjadi adalah US$1 = Rp.5.000, di mana jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta (0E1). Biasanya dalam sistem pengawasan devisa kurs pasar bebas dianggap terlalu tinggi (over valued). Pada kurs US$1 = Rp.4.500 jumlah yang diminta sebesar 0E2, sedangkan jumlah yang tersedia hanya sebanyak 0Eo. Oleh karena itu pemerintah perlu mengalokasikan jumlah yang tersedia tersebut dengan menggunakan kurs yang ditetapkan. Kurs yang ditetapkan bisa satu (single exchange rate) atau lebih (multiple exchange rate).
Penggunaan multiplke exchange rate tergantung pada tujuan penggunaan, misalnya kurs US$1 = Rp.4.500 dipergunakan untuk impor barang-barang esensial, seperti impor bahan baku yang akan dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang ekspor. Kemudian penggunaan kurs US$1 = Rp.5.000 atau di atas Rp.5.000 misalnya untuk mencegah impor barang konsumsi yang dapat mematikan produksi industri domestik.
Di dalam mengadakan alokasi penggunaan devisa, pemerintah dapat menggunakan beberapa cara, antara lain :
individual allocation : setiap pemohon devisa (importir) diadakan penelitian tentang penggunaannya. Apabila disetujui lalu diberikan izin untuk membeli sejumlah tertentu devisa.
Exchange quota : untuk setiap kategori impor ditentukan jumlah devisanya berdasarkan devisa yang akan diperoleh dari ekspor dalam waktu tertentu. Apabila devisa sudah tersedia, lalu dijual dengan prinsip yang lebih dulu bermohon dilayani terlebih dahulu samlai jatah untuk kategori impor tersebut habis.
Waiting list : ini merupakan pelengkap cara (b) di atas. Setiap surat permohonan pembelian devisa ditempatkan dalam daftar tunggu sampai devisa tersedia.

 D.  Kebijakan Devisa di Indonesia
Pada umumnya sistem devisa dapat dibagi dua, yaitu sistem devisa kontrol dan sistem devisa bebas. Dalam sistem devisa kontrol, kegiatan transaksi devisa dibatasi oleh pemerintah.  derajat tingkat pembatasan berbeda-beda pada masing-negara tergantung pada ultimate target dari kebijakan tersebut.  Sementara pada sistem devisa bebas tidak ada pembatasan dalam melalukan transaksi devisa.

1. Sistem Devisa Kontrol
Indonesia menerapkan sistem devisa kontrol sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 1964 tentang Peraturan lalu Lintas devisa yang berlangsung hingga tahun 1967.  Dalam undang-undang tersebut ditetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai oleh negara. Eksportir wajib menjual devisa hasil ekspor kepada bank devisa yang selanjutnya dijual kembali kepada Bank Indonesia. Di samping itu, warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia wajib mendaftar dan menyimpan surat berharga dalam valuta asing yang dimilikinya pada bank devisa pemerintah.
Kebijakan devisa kontrol pada saat itu cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian Indonesia dari pengaruh eksternal.  Namun, pada sisi lain kebijakan tersebut juga memberikan dampak negatif, yaitu dengan terciptanya pasar gelap valuta asing, sehingga nilai tukar rupiah di pasar valuta asing jauh di atas harga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2. Sistem Devisa Bebas
         Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Indonesia menganut sistem devisa bebas.  Undang-undang tersebut bertujuan untuk menarik masuknya modal asing dalam rangka pembiayaan investasi di dalam negeri. Namun demikian, para investor asing masih meragukan kemungkinan mereka tidak dapat mengirimkan keuntungan usaha yang diperoleh ke negaranya (profit transfer).  Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 16 tahun 1970 tentang penyempurnaan pelaksanaan ekspor, impor dan lalu lintas devisa.  Dalam ketentuan itu ditetapkan bahwa setiap orang dapat dengan bebas memperoleh dan menggunakan devisa umum.
Pada tahun 1982, Indnesia menerapkan sistem devisa bebas murni dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1982 tentang penghapusan kewajiban penjualan devisa hasil ekspor kepada bank Indonesia. Implikasi positif dari sistem devisa bebas murni adalah terjadinya aliran modal masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk penanaman modal asing, pinjaman dan investasi portofoli di pasar modal.
Implikasi negatif dari sistem devisa bebas, yaitu derasnya aliran modal masuk (khususnya dana-dana jangka pendek dalam bentuk investasi portofolio) dapat menimbulkan kerawanan pada perekonomian dalam negeri bila tidak diikuti sikap kehati-hatian para pelaku ekonomi. Kerawanan tersebut timbul ketika aliran modal masuk berbalik menjadi lairan modal keluar. Krisis yang dialami negara Amerika Latin, seperti Meksiko pada tahun 1994, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia pada pertengahan tahun 1997 merupakan bukti dampak negatif aliran modal masuk yang deras dan berbalik menjadi aliran modal keluar.

E. Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
            Sejak tahun 1970 sistem nilai tukar di Indonesia dalam perkembangannya sudah menganut tiga sistem nilai tukar, yaitu  sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang terkendali dan terakhir sistem nilai tukar mengambang bebas.



1.  Sistem Nilai Tukar Tetap (fixed exchange rate)
           Sistem nilai tukar tetap yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 1964 dengan nilai tukar resmi Rp. 250 per $ US, sementara nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah per $ US di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional.
           Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada Bank Indonesia.  Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing.  Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka mememenuhi permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat.  Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
              Sistem nilai tukar tetap dengan  sitem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih dimungkinkan dengan pertimbangan karena lembaga keuangan di Indonesia belum berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil, pasar valuta asing dan mata uang rupiah belum menjadi tradable good serta belum adanya kegiatan spekulasi valuta asing.  Di samping itu, pemerintah masih melakukan pembatasan-pembatasan dalam hal melakukan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing dan investasi portofolio sehingga intervensi langsung yang dilakukan pemerintah dapat bekerja efektif.
Selama periode tahun 1970 hingga tahun 1978, Indonesia telah tiga kali melakukan kebijakan devaluasi, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs  Rp. 378 per US $, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs Rp. 415 per US $ dan pada tabggal 15 Nopember 1978 dengan kurs Rp. 625 per US $. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena nilai tukar rupiah mengalami overvalued sehingga dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional.

2. Sistem Nilai  Tukar  Mengambang  Terkendali  (managed floating exchange rate)
Sistem nilai tukar mengambang terkendali ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33,6 persen.  Pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia.  Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu.  Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread.
Sesuai dengan karakteristiknya, sistem nilai tukar mengambang terkendali pada periode tersebut dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu managed floating I, managed floating II dan periode crawling band.  Periode managed floating I berlaku dari tahun 1978 –1986, di mana dalam periode ini unsur manajemennya lebih dominan dari floating.  Pada kondisi tersebut nilai tukar nominal bergerak relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi pada tahun-tahun tertentu, yaitu pada saat Bank Indonesia melakukan devaluasi rupiah.  Unsur manajemen yang cukup dominan, disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia tidak kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang diinginkan dalam rangka mengendalikan laju inflasi dan menjaga daya saing produk-produk ekspor.
Perkembangan selanjutnya (periode managed floating II), dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia terhadap perekonomian dunia, yang ditandai dengan semakin derasnya capital inflow ke Indonesia, serta semakin pesatnya perkembangan sektor keuangan dan dunia usaha, maka kebijakan nilai tukar managed floating lebih ditekankan pada unsur floating, yang berlaku sejak tahun 1987 – 1992.  Dalam periode ini kekuatan pasar semakin besar, sehingga unsur floating semakin dirasakan perlu mengingat manajemen yang terlalu dominan dapat berakibat missalignment pada nilai tukar riil.
              Sejak Agustus 1992  hingga Agustus 1997, pemerintah menetapkan sistem crawling band, yaitu fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan.  Peningkatan fleksibilitas nilai tukar rupiah telah mendorong perkembangan pasar valuta asing domestik, yang tercermin dengan semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank pada Bank Indonesia dalam melakukan transaksi devisa.  Kegiatan transaksi valuta asing yang sebelumnya dilakukan bank dengan Bank Indonesia hampir seluruhnya mengalami pergeseran ke pasar valuta asing antar bank.  Di samping itu jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta asing semakin bervariasi.  Pada sisi lain, peningkatan fleksibilitas melalui pelebaran rentang intervensi juga telah memberikan keleluasaan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi pasar terbuka.

3.  Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (floating exchange rate)
Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar USA.  Tekanan tersebut berawal dari currency turmoil yang melanda Thailand dan segera menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.  Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik secara spot maupun forward dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.  Namun untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi rupiah semakin meningkat.  Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi

Rangkuman
1. Pertukaran valuta asing adalah suatu kegiatan memperdagangkan mata uang dari negara-negara yang berbeda. Uang masing-masing negara memiliki harga yang diukur oleh uang negara lain. Hal inilah yang disebut nilai tukar (exchange rate).
2. Transaksi valuta asing yang berlangsung seketika disebut dengan kurs spot, sedangkan kesepakatannya disebut transaksi spot. Transaksi yang dilakukan di pasar berjangka, yaitu pasar di mana transaksi jual beli terjadi dengan harga yang disetujui pada saat transaksi dilakukan, tetapi penyerahan barang dilakukan kemudian hari.
3. Pasar valuta memiliki fungsi-fungsi dalam transaksi keuangan internasional : melakukan kliring, hedging, arbitrage.
4. Sistem kurs valuta asing dapat digolongkan ke dalam : (1) sistem kurs berubah-ubah, (2) sistem kurs stabil yang terdiri atas : (a) stabilisasi kurs, (b) standar emas; (3) sistem kurs pengawasan devisa.
5. Kebijakan devisa yang pernah berlaku di Indonesia adalah : (1) sistem devisa kontrol, (2) sistem devisa bebas
6. Kebijakan nilai tukar mata uang yang pernah berlaku di Indonesia adalah : (1) sistem nilai tukar tetap, (2) sistem nilai tukar mengambang terkendali, (3) sistem nilai tukar mengambang bebas.
Baca Juga UANGProduk Perbankan Dan Lembaga Keuangan